18. Kebencian

8.8K 1.3K 168
                                    

[Than]


Gue gak ngerti jalan pikiran Ogif.

"Ogif!" Dengan putus asa gue memanggil namanya.

Bukannya mendapat balasan, gue justru dapet terapi kejut jantung. Ogif membanting helmnya ke lantai ruang tamu.

Suara berisik di siang bolong sontak mengundang Ibu Ogif keluar dari ruangan dalam. "Kenapa kamu?" dengan nada jengkel, Ibu Ogif memungut helm anaknya.

Tanpa repot-repot menjawab, Ogif masuk kamarnya begitu saja. Gue yang di belakangnya cuma bengong mirip orang goblok kurang kerjaan—meskipun kenyataannya gitu sih.

"Dia kenapa, Adek Than?"

"Gak tau, Tante. Tante yakin kan Ogif dulu lahir normal? Gak ada kerusakan saraf satu pun?" tanya gue, memastikan Ogif tidak punya gangguan kejiwaan. Eits, kan mungkin aja ya. Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini.

"Gak sih, semua normal." Entah perasaan gue atau apa, sekilas gue lihat Ibu Ogif tersenyum tipis. Apanya yang lucu coba?

Ah, sudahlah. Mungkin Ogif lagi marah gara-gara tadi. Tapi ya, harusnya gue yang marah. Udah jelas-jelas dia tau kalau gue suka dia. Terus dia? Apa? Ngajakin gue ketemuan sama pacarnya? Tega bener kalau milkir gue sama sekali gak sakit hati.

"Than?"

Panggilan Ibu Ogif berhasil menyadarkan gue dari lamunan gak berguna tadi. "Ya, tante?"

"Tolong dong, busa kursinya jangan dicabutin? Kursinya udah rusak nih." Ucap Ibu Ogif, tersenyum lucu.

Gue melihat tangan gue yang—tanpa gue sadari—mencabuti busa kursi di ruang tamu Ogif. Yah, salah siapa juga sobek duluan. Gue kan gak tahan kalau gak menghancurkan sesuatu saat kesal.

"Hehe, iya tante. Maaf."


###


"Gif? Gak bosan bertapa?" Than mengetuk pintu kamar Ogif pelan. Ini sudah 31x dia melakukan hal yang sama. Dan balasannya pun sama. Dicuekin.

Sungkan dengan tamu rumahnya karena tingkah kekanakan anaknya, Ibu Ogif berinisiatif membantu Than.

"OGIF! Kamu kenapa sih? Dipanggil kok gak keluar-keluar! Kasihan temanmu. Ibu gak pernah ngajarin kamu bersikap gak sopan sama tamu ya. Jangan malu-maluin Ibu dong!" Labrak Ibu Ogif. Than di sampingnya sampai kaget sendiri. Perempuan kalau jadi macan ternyata mengerikan, batinnya.

"Ibu sih gak tau masalahnya! Jangan marahin aku. Dia yang ganggu aku duluan. Tanya tuh sama si Than!" Bagai menuang bensin dalam api, Ogif makin marah dengan sikap Ibunya yang seolah lebih membela Than daripada dirinya.

"Ya makanya keluar! Bicara baik-baik kan bisa." Bujuk Ibu Ogif rasa maksa.

"Males! Suruh pulang aja tuh anak! Gak usah ngurusin hidup orang lain. Lo siapa? Kayak lo bener sendiri. Shit!" Maki Ogif tanpa ampun.

Than membelalakkan mata, terluka. Ucapan Ogif benar-benar menohok hati kecilnya. Sedangkan Ibu Ogif yang merasa kesal dimaki oleh anaknya sendiri, mulai menyiapkan ancang-ancang menendang pintu kamar Ogif. Untungnya, Than menghentikan aksi brutal Ibu Ogif sebelum keributan itu benar-benar terjadi.

Dia memegang kedua pundak Ibu Ogif, menggeleng pelan. "Udah, Tante. Jangan diladenin."

Meskipun agak gak terima karena dilarang, Ibu Ogif terpaksa mengangguk mengiyakan.

"Aku mau pulang." Dia mengucapkan kalimat itu bersama seulas senyuman. Salah satu sifat Than yang gak banyak orang tahu adalah, dia bisa berubah sangat tenang ketika benar-benar merasa marah atau terluka. Jenis ketenangan yang mengerikan.

"Sudah malam, Dek. Besok aja. Nanti Tante antar sampai terminal." Sebagaimana naluri Ibu pada umumnya, Ibu Than tetap khawatir jika Than pulang malam-malam.

"Gak apa-apa, Tante. Aku bisa naik ojek ke terminal." Balasnya, tetap menyunggingkan senyum menenangkan.

"Jangan gitu, Tante jadi gak enak nih." Ibu Than gak menyerah.

"Aku pulang sendiri, Tante. Gak apa-apa kok."

Sementara itu, di balik pintu Ogif mendengarkan pembicaraan keduanya sambil lalu. Sama sekali gak mau tau. Meskipun terlihat sepele, permasalah tadi siang benar-benar membuatnya berang. Dan, dia ingin menegaskan hal itu pada Than.


###


"Hah, kamu dimana?!" Suara panggilan dari seberang terdengar sangat kaget.

"Aku di terminal." Than memperbaiki letak duduknya. Sengaja dia mencari tempat duduk yang sepi dan jarang dilalui orang lain.

"Ngapain kamu? Mau Bapak jemput?" Dengan nada yang sama, Than diinterogasi Bapaknya.

"Main. Gak usah Pak, aku bisa pulang sendiri. Nanti aku hubungi lagi. Aku masih nunggu bisnya."

"Hei! Main kok jauh amat? Kamu pengedar narkoba ya?"

"Yaelah, tuduhannya gak usah se-ekstrem itu kali." Ucap Than, sedikit bercanda.

"Iya deh, percaya. Kamu pasti bandarnya. Pasti itu! Kalau gitu hati-hati pulangnya. Jangan lupa makan."

"Iya-iya." Than meringis mendengar ucapan Bapaknya yang ngelanturnya gak ketulungan.

Kemudian, panggilan di tutup.

Hening malam menyelimuti perasaan Than yang gak bisa dibilang baik-baik saja.

"Apa yang udah gue lakuin?" Perlahan, Than menertawakan dirinya sendiri. "Sejak kapan gue segoblok ini?" Matanya mulai pedih. "Harusnya gue tetap bersikap blo'on dari awal." Dia meremas dadanya. "Percuma bilang suka, percuma... sekarang apa? Gue cuma pecundang yang diperlakukan seperti anjing. Haha." Sekuat tenaga dia menggigit mulut bagian dalamnya supaya gak keterusan menangis.

Di antara lalu lalang lautan manusia yang berkutat dengan kesibukan masing-masing, Than menyadari satu hal.

Harapannya sudah hancur.

Malam itu, pertama kalinya dia menangis tersedu bukan karena orangtuanya. Dia gagal menahan diri.


###

Saya sedang bersemangat untuk menamatkan cerita ini, yeay! :v

Terima kasih sudah membaca, jangan lupa vote dan comment ya :D

3/1/18

Gay Code 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang