Setelah kejadian di dapur itu, budhe langsung diijinkan pulang bersamaku. Setibanya di rumah, budhe langsung mengunci diri di kamar. Begitu pula denganku. Kami saling diam selama sisa hari itu.
Malamnya aku tak bisa tidur. Banyak hal berkecamuk di pikiranku. Kelebatan memoriku bersama Dimas menghampiri otakku. Aku memikirkan kenangan kami bersama. Aku sempat tak percaya hal seperti itu menimpaku.
Pikiranku berkelana kemana-mana. Aku memikirkan dimana Dimas saat itu. Mengapa dia tega meninggalkan aku begitu saja. Lalu aku juga memikirkan nasibku dan bayi dalam kandunganku. Bagaimana jadinya nanti jika anakku tahu ibunya menikah dengan lelaki yang bukan ayah kandungnya.
Aku menyesali perbuatanku. Meratapi hidupku. Menangisinya. Semalaman aku menangis hingga aku kelelahan lalu tertidur.
Paginya, saat aku merasa baru beberapa menit menutup mata, budhe membangunkan aku. Beliau menangis sambil memelukku dengan erat.
"Kamu tetap anak budhe, Ran," ucapnya.
Aku mengerjap-ngerjap. Butuh beberapa saat untukku mencerna apa yang terjadi dan memahami maksud ucapan budhe. Lalu kelebatan memori tentang hari kemarin menghantam otakku. Dan ketika aku sadar sepenuhnya, aku membalas pelukkan budhe tak kalah erat. Sekali lagi aku minta ampun pada budhe.
"Kamu anak budhe, Ran," ulangnya. "Apapun yang kamu lakukan, kamu tetap anak budhe." Aku makin menenggelamkan wajahku ke dada budhe.
Jujur saja, aku tak merasa lega sedikitpun. Aku masih merasa memikul beban yang berat. Entah apa. Saat itu aku bepikir mungkin itu karena Dimas tak ada si sisihku. Aku mencoba tak menghiraukan pikiran itu. Sebaliknya, aku mencoba menjalani apa yang ada di depanku. Menjalani hari demi hari. Tapi harus aku akui aku bersyukur memiliki budhe saat itu. Sangat bersyukur.
***Seminggu setelah insiden di dapur keluarga Salendra itu, aku "menikah" dengan mas Bara.
Bukan pernikahan yang mewah. Jangankan mewah, perayaan sederhana bersama keluarga terdekatpun tidak. Seminggu setelah insiden itu, mas Bara datang ke rumah budhe dengan seorang lelaki paruh baya.
Kami "menikah". Menandatangani surat tanda bahwa kami saat itu sudah "sah" menjadi suami istri.
Aku bingung. Aku tak mengerti. Seolah takdir sedang tertawa menghina di depan mukaku. Semua seolah seperti mimpi.
Khayalanku tentang pernikahan yang indah hancur detik itu juga. Bayanganku akan memiliki pernikahan seperti bapak dan ibu sirna tanpa bekas. Aku menikah dengan hanya menandatangani sebuah dokumen tipis! Setipis harga diriku!
Aku bahkan tak tahu harus kusebut apa statusku dengan mas Bara. Jika memang itu harga yang harus aku bayar karena harga diriku yang sudah hancur, maka jadilah! Pernikahan atau bukan, itu adalah babak baru dalam hidupku.
Aku sudah muak, terlalu banyak yang aku pikirkan, terlalu berat beban yang aku tanggung. Jangankan mendebat atau memperjuangkan arti "pernikahanku", pemikiran tentang Dimas yang benar-benar hilang saja sudah menguras seluruh energiku.
Ada orang yang bersedia "menikah" denganku saja sudah syukur. TIDAK! Aku tidak bersyukur sama sekali. Tapi aku juga tidak menghujat siapapun. Seperti yang aku katakan sebelumnya, aku hanya mencoba menjalani apa yang ada di depanku saja. Menjalani hari demi hari.
***Dua hari setelah "pernikahanku", oh persetan, aku akan tetap menyebutnya pernikahan, aku pindah ke rumah keluarga Salendra. Budhe sendiri sudah diberhentikan bekerja di sana. Mungkin karena akan terasa canggung, mengingat statusku yang sudah menjadi bagian dari keluarga itu.
Keluarga Salendra memperlakukan aku dengan baik. Mereka menerimaku. Setidaknya para perempuannya.
Biar aku ceritakan sedikit tentang keadaan keluarga Salendra.
Keluarga ini memiliki tiga putra. Putra pertama bernama Sadewa Salendra. Orangnya tinggi, rambutnya gondrong dan selalu diikat ke belakang. Orangnya pendiam, bicara jika perlu saja, setidaknya denganku. Aku selalu merasa terintimidasi dengan kehadirannya. Entah mengapa. Padahal tatapannya pun tak setajam tatapan mas Bara. Tiap mas Dewa memandangku, aku seolah tak bisa berkutik. Seolah semua pergerakaku terawasi.
Biar kuberi tahu fakta yang cukup mencengangkan tentang mas Dewa. Dia punya tiga istri! Empat sebenarnya, tapi istri pertamanya sudah lama meninggal. Beberapa tahun kemudian mas Dewa "menikah" dengan seorang janda anak satu bernama Ratih.
Mbak Ratih lebih tua setahun dari mas Dewa. Saat mereka menikah, mbak Ratih sudah memiliki seorang putri bernama Sarah, usianya empat tahun kala itu, hasil pernikahannya dengan suami terdahulunya. Mereka bercerai karena kasus KDRT. Kemudian, setahun setelah mas Dewa dan mbak Ratih menikah, mereka dikaruniai putra yang mereka beri nama Bima.
Istri kedua mas Dewa bernama Ayu. Sesuai namanya, mbak Ayu memang cantik, parasnya rupawan, tubuhnya molek. Usianya hanya selisih tiga tahun di bawah mas Dewa. Mereka menikah dua tahun setelah pernikahan mas Dewa dan mbak Ratih. Mas Dewa dan mbak Ayu dikaruniai putra yang diberi nama Sakha.
Lalu istri yang terakhir bernama Rini. Usianya terpaut empat tahun dibawah mas Dewa. Mereka menikah selang dua tahun setelah penikahan mas Dewa dan mbak Ayu. Dia adalah wanita hamil yang menyaksikan dramaku dengan budhe di dapur waktu itu. Mas Dewa dan mbak Rini akhirnya dikaruniai seorang putri yang diberi nama Nareswari.
Lalu putra kedua adalah Sabara Salendra. Biasa dipanggil Bara. Orangnya tinggi tapi tak setinggi mas Dewa. Badannya berotot namun tidak terlalu besar. Rambutnya tebal dengan potongan cepak. Ada tato sayap di punggung yang menjalar ke lengannya dan tato tulisan "SALENDRA" di dadanya. Ada tato lain juga di beberapa bagian tubuhnya yang lain tapi kurasa itu cerita untuk lain waktu saja. Ada bekas tindikan juga di telinga kirinya.
Usia mas Bara hanya terpaut dua tahun di bawah mas Dewa. Oh dan ingat anjing rottweiler yang dulu menggonggongiku? Itu miliknya. Mm...sebenarnya milik keluarga Salendra tapi mas Bara yang lebih sering merawatnya. Namanya Roxy. Kadang tiap sore mas Bara akan mengajak Roxy untuk jogging. Lalu setelah itu mas bara akan melanjutkan olah raga calisthenics di taman kecil samping rumah. Di sana memang ada tiang titian, disebrang kandang Roxy.
Mas Bara dan mas Dewa selalu pergi sore atau malam hari dan baru pulang saat pagi menjelang. Entah apa yang dilakukan. Kata mbak Ratih mereka bekerja. Bekerja apa, mbak Ratih tak mau mengatakannya padaku.
Putra terakhir adalah Samudra Salendra. Dia seumuranku, lebih tua beberapa bulan sebenarnya. Dari kelas 10 sampai 12 aku sekelas dengannya. Kami juga rekan sesama pengurus OSIS, dia wakil ketua, sedang aku humas. Ada alasan mengapa ia bisa dipilih sebagai wakil ketua OSIS. Sam itu pribadi yang menyenangkan. Orangnya ramah pada siapapun. Dia juga tak memilih-milih dalam berteman. Contohnya saja aku, biar budheku bekerja pada keluarganya sebagai ART, Sam memandangku sebagai temannya. Sam mudah bergaul dengan siapa saja. Mungkim hampir satu sekolah dia kenal semua.
Perawakkan Sam tak seperti mas Dewa atau mas Bara. Kulit sam lebih putih, bersih sedang mas Dewa dan mas Bara kulitnya kecoklatan. Selama aku mengenal Sam, satu hal yang menjadi ciri khasnya; rambutnya yang jambul. Ia juga tak terlalu tinggi seperti kedua kakaknya. Jika berhadapan dengan mas Dewa atau mas Bara, aku harus mendongakkan kepalaku untuk menatap mereka tapi jika dengan Sam, aku hanya perlu menaikkan pandanganku sedikit saja.
Tinggal bersama bersama tiga putra Salendra itu membuatku mau tak mau membandingkan satu sama lain. Dari mereka bertiga, yang paling berbeda adalah Sam. Sam orangnya ekspresif. Dia tak segan tertawa terbahak-bahak di depan banyak orang. Dia juga bisa bersemu malu atau marah. Berbeda dengan kedua kakaknya yang selalu menunjukkan wajah datar. Seolah semuanya sudah mereka kendalikan matang-matang.
Hubungan mas Dewa dan mas Bara sangat dekat, dibanding hubungan mereka dengan Sam. Mungkin karena perbedaan umur mas Dewa dan mas Bara yang dekat. Sedangkan Sam seumuran denganku. Jelas pola pikir merekapun pasti berbeda.
Kendati perbedaan tersebut, ketiga putra Salendra tersebut punya satu hal yang sama. Mereka adalah lelaki yang tak terbuka dengan cinta.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Kirana
قصص عامة(DITERBITKAN OLEH NOVELINDO PUBLISHING) (JUGA TERSEDIA DALAM E-BOOK) Namaku Kirana, artinya cantik. Namun, kisah hidupku agaknya tak sesuai dengan nama yang kusandang. Hidup yang kujalani lebih sesuai dengan nama panggilanku; Rana. Ini adalah kisahk...