Kukira setelah malam kami bercinta hubunganku dengan mas Bara sudah maju selangkah. Tapi ternyata tidak.
Meski sempat kecolongan dengan Dimas, bagiku seks adalah hal yang sakral. Jujur saja, sebelum mas Bara meminta hal tersebut padaku malam itu, aku sudah mulai memikirkannya sejak aku menginjakkan kakiku ke rumah itu. Tiap malam dalam lima bulan pernikahan itu aku sudah memikirkannya berkali-kali. Jadi keputusanku malam itu bukan keputusan asal yang secara singkat aku ambil. Semua sudah aku pikirkan baik-baik. Bagiku malam itu berarti sesuatu untukku. Wajar bukan aku berpikir demikian?
Siapa yang tahu bagi seorang Sabara Salendra malam itu tak ada bedanya dengan malam-malam saat ia bersama wanita lain? Oh, mungkin hanya aku yang tak tahu. Entah terlalu naif, munafik atau memang dasarnya aku bodoh.
Hampir tiap hari aku memberikan haknya sebagai suami. Aku tak pernah menolak. Dan ia juga tak pernah berbuat kasar padaku. Ia selalu mementingkan keadaanku terlebih dahulu. Tapi aku tak pernah merasakan hal tersebut lebih dari seks semata. Kalau kalian mengalami apa yang aku alami, kalian akan tahu arti ucapanku.
Dengan pemikiran itu, aku bertekad untuk pergi setelah bayiku lahir. Bukan karena aku tak sanggup menghadapi mas Bara lagi. Bukan. Aku berpikir saat itu, saat aku hamil dan ditinggalkan begitu saja oleh kekasihku, yang aku butuhkan hanya status supaya aku tak dihujat oleh banyak orang. Intinya adalah aku ingin pergi setelah mendapat apa yang aku mau. Dan aku tak mau lagi menumpang lebih lama di rumah keluarga Salendra.
Asal tahu saja, dulu bahkan aku sempat berpikir kalau nantinya setelah bayiku lahir, mas Bara akan menceraikan aku. Bagaimana aku bisa berpikir demikian? Itu semua karena...yah masuk akal saja. Itu kan alasannya menikahiku hanya di atas selembar kertas? Lebih mudah bukan kalau ia ingin menceraikan aku? Dan satu lagi, bayi itu adalah anak Dimas. Coba saja pikir dengan logika. Lelaki mana yang sudi menikah dan merawat bayi yang bukan tanggung jawabnya?
Aku bahkan sudah membicarakan perihal keputusanku itu dengan budhe. Aku sering berkunjung ke rumah budhe saat aku hamil. Sering mencuri waktu. Saat aku disuruh belanja ke pasar sendiri kadang pulangnya aku mampir ke rumah budhe walau hanya sekitar sepuluh, lima belas menit atau kadang setengah jam.
Semenjak budhe diberhentikan bekerja, beliau membuka usaha sendiri. Hanya warung kecil yang dibuka di teras rumah kami. Jika pagi, budhe akan menjual nasi uduk, saat siang menjual lotek dan gado-gado. Walau tak seberapa, cukuplah untuk hidup sehari-hari.
Baik, cukup dulu tentang pemikiranku, kalian tahu? Pemikiran mas Bara berbeda sama sekali dari pemiliranku. Kukira saat aku melahirkan nanti mas Bara akan menceraikan aku. Nyatanya ia tidak berpikir demikian.
Saat umur kandunganku memasuki usia 9 bulan, mas Bara berbicara seperti ini padaku, "aku nggak akan menceraikan kamu setelah anak itu lahir. Sebagai gantinya aku mau kamu serahkan bayi itu ke mbok Darmi. Biar beliau yang mengurus. Kamu masih bisa tetap tinggal di sini, tapi anak itu harus ikut mbok Darmi!"
Sekarang tolong katakan padaku, apakah berlebihan jika setelahnya aku marah padanya? Aku menolak mentah-mentah keinginannya. Itu adalah pertama kalinya kami bertengkar. Jangankan menyapanya, berhari-hari aku bahkan tak sudi melihat wajahnya.
Bayi itu memang hadir tanpa aku kehendaki, dan bahkan aku sempat berharap ia gugur. Tapi seiring berjalannya waktu, rasa itu tumbuh di hatiku. Rasa kasih sayang yang hanya akan dimengerti seorang ibu. Aku ingin menjaganya, merawatnya, melalui tiap proses bersamanya. Hanya kami berdua.
Aku ceritakan semua pada budhe, tentang keinginan mas Bara setelah anakku lahir. Budhe terkejut, jelas! Saat itu budhe bertanya padaku tentang keputusanku. Aku dengan tegas mengatakan lebih memilih bayiku daripada harus bertahan di rumah itu. Aku minta tolong pada budhe supaya bersedia membantuku di awal-awal paska aku melahirkan. Tapi justru budhe mengajukan diri untuk membantuku merawat anakku seterusnya. Budhe dengan lapang mau menerimaku kembali. Akhirnya kami berencana setelah bayiku lahir, kami akan merawatnya berdua saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kirana
General Fiction(DITERBITKAN OLEH NOVELINDO PUBLISHING) (JUGA TERSEDIA DALAM E-BOOK) Namaku Kirana, artinya cantik. Namun, kisah hidupku agaknya tak sesuai dengan nama yang kusandang. Hidup yang kujalani lebih sesuai dengan nama panggilanku; Rana. Ini adalah kisahk...