8. Dari Donat Kentang Turun ke Nastar II

13.4K 1K 42
                                    

"Habis donatnya enak mbak." Sam kemudian menatapku. "Pantes dulu Dimas tergila-gila sama kamu, Ran," ucapnya.

Aku langsung menegang. Aku percaya yang lainpun pasti langsung merasakan keteganganku. Nama Dimas sudah kucoba hapus sejak lima bulan belakangan. Aku mencoba untuk tak terlalu berharap pada Dimas lagi. Tapi sekali saja aku mendengar nama itu entah kenapa tiba-tiba aku serasa dihempas ke dalam jurang terdalam lagi. Aku merindunya. Aku masih berharap padanya. Aku hampir saja menangis jika bukan karena merasakan remasan di pergelangan tanganku.

Aku menatap pergelangan tanganku yang di pegang mas Bara. Tidak terasa sakit sama sekali tapi cukup untuk mengalihkan perhatianku. Aku mengerjapkan mataku dengan cepat supaya air mataku tak jadi menetes. Aku menatap mas Bara. Ia kemudian mengambil donat dari tanganku dan melepaskan pergelangan tanganku.

"Donatnya enak," ucap mas Bara.

"Tul," seru mbak Ayu sambil mengunyah.

Mbak Ratih berdeham kemudian berkata, "Rana katanya bisa bikin nastar juga lho, Bar."

Mataku membelalak menatap mbak Ratih lalu menatap mas Bara. Mas Bara juga menatapku tak percaya.

"Kamu bisa buat nastar?" tanya mas Bara. Sekilas aku bisa melihat binaran di matanya. Aku tiba-tiba saja gugup. Aku meremas-remas ujung kaosku.

"Bisalah. Rana bilang itu kue kering favoritnya lho, Bar," sahut mbak Ratih. "Sama kayak kamu 'kan?" lanjutnya. Aku sedikit terkejut. Aku tak tahu kalau mas Bara ternyata juga suka nastar. Oh tapi siapa juga yang tak suka kue kering satu itu?

"Bisa, Ran?" tanya mas Bara.

Aku masih meremas ujung kaosku. Seingatku tadi aku tak mengatakan pada mbak Ratih kalau aku bisa membuat nastar. Walau memang kenyataannya aku bisa. Aku dan budhe dulu selalu membuatnya saat menjelang lebaran, sekedar untuk jamuan jika ada anak-anak atau tetangga yang datang ke rumah.

Melihat mas Bara yang masih terus menatapku, aku akhirnya mengangguk. Saat itu juga, meski terlihat tenang tapi aku bisa melihat kalau mata mas Bara berbinar.

"Bisa buat?" tanyanya.

Aku sedikit mengernyit. Bukankah tadi aku jawab dengan anggukan? Aku sedikit memundurkan kepalaku, mencerna maksud mas Bara. Lalu mataku melebar, "maksudnya sekarang, mas?" tanyaku terkejut.

"Iya," jawabnya datar.

Aku berdeham untuk menghilangkan kegugupanku, "tapi bahan-bahannya nggak ada mas." Mas Bara mengernyit kemudian berlalu begitu saja sambil memakan donat yang ia pegang. Aku terus memandanginya hingga punggungnya menghilang di balik tembok.

Aku sedikit heran tapi tak terlalu aku gubris. Aku kembali ke meja makan dan mengambil satu donat lagi tanpa kuberi gula halus. Saat itu Sarah sudah kembali lalu duduk di tempat semula dan melanjutkan makan donat dengan caranya sebelumnya. Semua juga sudah kembali menikmati donat dengan diam. Aku bersyukur ketegangan yang aku rasakan tadi tak membuat suasana menjadi canggung.

Kami mulai mengobrol kembali. Mbak Ratih dan mbak Ayu membicarakan menu yang akan dimasak untuk esok hari. Sedang mbak Rini kadang mengajak ngobrol Sarah. Bima dan Sakha masih asyik dengan mencocol donat ke gula halus tanpa berniat memakannya. Sam masih di sana, ia jadi lebih diam.

Sekitar setengah jam kemudian donat di hadapan kami sudah banyak berkurang. Tak lama kemudian mas Dewa masuk ke dapur. Sontak tatapan kami semua tertuju padanya.

"Tih, donatnya masih?" tanyanya pada mbak Ratih. Di tangan kanannya ada piring makan yg sudah kosong dan di atasnya piring yang lebih kecil, masih ada sedikit gula halus di sana.

"Masih," sahut mbak Ayu. "Nih," ucapnya sambil mendorong loyang berisi donat ke arah mas Dewa.

Mas Dewa mengambil tempat duduk di sampingku. Lalu mengambil satu donat dan memakannya. "Tumben ada donat. Sebanyak ini beli dimana?"

KiranaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang