PROLOG

90 4 10
                                    


Di langit yang penuh gelombang putih, angin kencang berembus ke sana kemari, terlihat sepasang sayap tengah terbentang, menembus gelombang putih tanpa takut dan ragu. Sayap itu kian merentang, menusuri setiap belokan dan tiba-tiba pemilik sayap itu menukik ke bawah.

Pemilik sayap itu adalah seekor elang hitam. Dengan mata tajamnya, dia menemukan tempat yang dia cari, sesegera mungkin dia menukik ke bawah. Sebuah kastil besar, namun terasa kaku dan menyeramkan menjadi tempat dia berlabuh.

Dengan sekali hentakan angin, dia berhasil turun memasuki ruangan kastil. Lorong kastil begitu panjang, setiap sudut ada penjaga, tapi tak mengusik dirinya. Elang itu dengan leluasa menusuri lorong gelap kastil, hingga dia berhenti di depan pintu jati yang besar. Tiba-tiba ... pintu itu terbuka sendiri.

Sepasang mata tengah melihatnya, membuat elang itu berkedik dan kepalanya langsung menunduk, memberikan penghormatan kepada pemilik mata tajam. Sring ... elang itu berubah menjadi seorang manusia, pria.

"Apa yang kaubawa ke sini, Mahes!" Terdengar suara berat dari pemilik mata tajam itu.

"Ratuku, hamba membawa kabar yang sangat penting."

Pemilik mata tajam itu semakin menatap, kemudian senyum tipis menghiasi wajahnya yang putih, seputih dataran ice yang dia tempati. "Graneta Shine."

Pria bermantel hitam itu mengangguk dan ikut menyumbangkan senyum tipis kepada wanita itu.

***

"Kamu yakin anakku?" tanya seorang wanita yang tengah duduk di singgasananya yang terbuat dari besi, dengan ukiran-ukiran antik di atasnya. Wanita itu adalah seorang ratu, terlihat dari pakaiannya yang begitu mewah, penuh dengan permata menghiasi leher dan rambutnya yang pirang bercampur merah, kulitnya yang putih bersih membuat bibirnya ranum menggoda. Dia begitu cantik, namun matanya memancarkan cahaya berbeda.

"Tentu Ratuku, aku tidak akan membiarkan orang yang bertanggung jawab atas kematian Paman melenggang bebas tanpa balasan," jawab seorang anak kecil yang tengah berdiri di samping wanita itu, umurnya berkisar 7 tahun, namun wajahnya begitu memancarkan keseriusan. Rambut ikal cokelat, mata cokelat yang senada dengan rambutnya, membuat wajah anak laki-laki itu terlihat sangat tampan, bahkan di usianya yang belia, pesona keindahannya telah tampak.

"Apa rencananmu?" tanya wanita itu lagi sembari menoleh dan menatap tajam ke arah anak itu. "aku tidak ingin kehilangan dirimu," tambahnya.

Anak itu menatap ke arah wanita itu. "Ini demi Paman, akan ada rencana yang kubuat untuk membalaskan dendam Paman."

"Itu negeri yang tidak sama dengan kita, kautak bisa menggunakan kemampuanmu di sana, aku sangat khawatir padamu, anakku."

"Ini keputusanku, aku tidak akan mengubahnya. Aku harus segera pergi, Ratuku." Anak itu segera melenggangkan kaki meninggalkan wanita yang masih duduk diam di singgasananya, menatap kepergian anak itu dengan mata birunya.

Saat anak itu keluar dari ruangan, dia berpas-pasan dengan pria yang menggunakan jas hitam. Pria itu membungkuk saat melihatnya, namun anak itu hanya melempar senyum dan terus berjalan.

"Ratuku," ucap pria itu saat telah berada di hadapan wanita yang masih duduk di singgasananya, bergeming. "Apa Ratuku yakin, mengirim Pangeran ke negeri itu?"

"Mahes ... Mahes. Aku tidak mengirim dia ke sana, dia sendiri yang ke sana."

"Ta-tapi ...."

"Bukankah ini bagus?" Mendadak sepasang sayap besar berwarna hitam menghiasi punggung wanita itu.

"Ra-Ratuku, kau ...."

"Tinggal satu langkah lagi, maka keabadian akan menjadi milikku!"

"A-apakah anak itu yang akan menjadi tumbalmu selanjutnya?"

Hanya ada senyum lebar menghiasi wajah wanita itu, matanya benar-benar memancarkan aura aslinya, penuh kegelapan. "Biarkan dia meluruskan jalanku, setelah itu ... dia akan menjadi milikku untuk mencapai keabadian!" Kini tawa kebahagiaan mewarnai ruangan itu, menggema ke seluruh kastil.

Pria itu hanya menunduk, tak bergeming. Ada rasa takut menghantui hatinya, namun dia lebih takut jika wanita yang dia panggil ratu itu menghukumnya dengan sekali jentikan jari.

"Ikuti dia dan berikan semua kabar tentangnya padaku, kau mengerti Mahes!" perintahnya membuat pria itu mengangguk, dan sring .... Pria itu berubah menjadi elang hitam dan terbang meninggalkan wanita itu.

***

"Gandaf, aku mohon ... bawa ini ke Arnold, dia akan menjaga milikku yang paling berharga ini."

"Baik Ratuku."

"Sayang, Ibu sangat mencintaimu, Ayahmu juga sangat mencintaimu, tapi ... ini demi kebaikanmu, maafkan Ibu ... Ibu harus membuang ingatanmu padaku, Ibu sayang padamu." Wanita itu mengecup hangat pipi bayi perempuan mungil yang begitu cantik, lalu tangannya mengayun pelan, memancarkan percikan kemilau ke arah bayi mungil itu. "Lupakan kejadian ini, tinggalkan kenangan ini," ucap wanita itu beriringan dengan gerakan tangannya. "Sekarang pergilah Gandaf, sampaikan permintaan ini pada Arnold."

Pria itu mengangguk pelan, dengan sekali hentakan dia berubah menjadi elang putih, melesat dengan cepat sembari membawa keranjang berisi bayi mungil yang tertidur lelap.

"Ibu sayang kamu Lamora, sungguh. Maafkan Ibu, ini demi kebaikanmu. Semoga Sheera tak bisa menemukanmu di sana, aku percaya padamu, Arnold."

***

Bersambung ....

RED VELVETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang