Sejak kejadian penyerangan itu, Mora lebih menutup diri di kamar. Masih teringat kejadian yang menimpanya, sinar kemilau yang membuatnya menjadi seorang pembunuh. Belum lagi sebagian rambutnya yang berubah menjadi merah darah. Beberapa kali dia membenamkan kepalanya di dalam bathtub, membasuh rambutnya dengan berbagai jenis sampo, namun semua itu hanya sia-sia.
"Apa yang terjadi padaku?" Pertanyaan yang selalu mengulang dalam hatinya. "Apa ini hukuman?" Kembali pertanyaan bodoh menghantui pikirannya, dan terlebih lagi hatinya.
Tok tok tok ....
Terdengar suara ketukan dari luar kamarnya, Mora segera mengambil jaketnya dan menutupi seluruh rambutnya. "Masuk," tuturnya dengan lembut.
"Honey, are you, ok?" Terlihat seorang pria tinggi, umurnya berkisar 40 tahun, namun wajahnya masih sangat tampan, pria itu adalah Papa Mora, Mr. Arnold.
"I'm ok, Pap," balas Mora sembari memeluk boneka beruang kesayangannya.
Papa Arnold mendekati Mora, kini dia telah duduk di samping putri semata wayangnya itu. "Kamu tidak bisa membohongi Papa, Mora. Ceritakan, kamu ada masalah apa? Sama Kai?"
"Papa! Kenapa selalu membawa-bawa nama Kai?" Kini wajah Mora terlihat semakin cemberut. Matanya memancarkan ketidakpahaman atas pertanyaan Papanya yang selalu menyangkutkan bad mood-nya dengan Kai.
"Of course, dia adalah menantu Papa. Pastinya, jika raut wajahmu berubah, tidak jauh dari hubungan kalian berdua, 'kan?"
"Stop Papa, Mora tidak mencintai Kai. Kai hanya teman Mora, tidak lebih!"
"Begitukah ...." Kini Papa Arnold memasang wajah lucu yang membuat Mora semakin jutek. Dan kejutekan Mora membuat Papa Arnold tertawa puas.
"Mora tidak mau cerita sama Papa," ancam Mora kesal melihat tingkah konyol Papanya.
"Ok, ok. Papa minta maaf, sekarang ceritakan semuanya sama Papa, Papa mohon!"
Mora sedikit ragu untuk memulai, namun ... tidak ada jalan lain selain menceritakan kejadian ini. Antara ragu dan takut, Mora membuka penutup kepalanya. Saat rambut Mora terbuka semuanya, Papa Arnold tampak terkejut.
"Ka-kau mengecat rambutmu, Mora?" tanyanya bingung melihat penampilan rambut Mora yang sebagian berubah menjadi merah darah.
"Papa, Mora tidak pernah mengecat rambut Mora. Papa tahu, Mora sangat menyukai warna alami rambut Mora. Mora juga tidak tahu kenapa bisa begini."
"Ceritakan Mora, Papa ingin tahu?"
Mora pun menceritakan semuanya kepada Papa Arnold, mulai dari penyerang dirinya, dan sinar kemilau yang membuatnya menjadi pembunuh. Papa Arnold tampak terkejut, dia memegang bagian rambut Mora yang berwarna merah. Tiba-tiba ada kemilau yang terpancar dari mata Papa Arnold, membuat Mora terkejut, karena ini pertama kalinya Papa Arnold berwajah seperti itu.
"Pa-pa?Ada apa?" tanya Mora ragu dan semakin takut.
"Mulai hari ini, kamu tidak boleh ke mana-mana tanpa Papa, Mama dan Kai. Mengerti!" Papa Arnold menjadi tegas dengan raut wajah yang penuh rasa khawatir.
"Ke-kenapa Papa? Mora mau sekolah, mau main sama teman-teman."
"Diam Mora! Turutin kata Papa!" bentak Papa Arnold membuat mulut Mora bungkam, "dan tidak ada tapi-tapian!" tambahnya lagi sembari beranjak dari kamar Mora.
Mora hanya mematung di atas tempat tidurnya, sembari menatap punggung papanya yang pergi meninggalkan dirinya. Di bawah dia juga mendengar suara gaduh papa dan mamanya, mereka tampak berbicara sangat serius. Mora semakin ketakutan, dia tidak pernah mendengar papanya berbicara kasar dengan dirinya, dan sekarang mamanya. Mereka saling membentak. Dan tiba-tiba ... pintu kamarnya terbuka.
KAMU SEDANG MEMBACA
RED VELVET
FantasyDunia bukan hanya tempat kita, ada berbagai misteri yang tersembunyi di dalamnya. Misteri yang tak tampak, namun berhubungan dengan kehidupan yang kita jalani. Seorang wanita, yang hidup di daratan Eropa, terkejut dengan perubahan yang dia alami...