ceritakan padaku tetang rasa!

21 1 0
                                    

"Falling in love is a delirium inspired by the gods, a devine madness, like an artistic inspiration and the gift of phrophecy" – Plato
 

 
"..akan kukatakan padamu tentang rasa."
" ya.. ceritakan padaku tentang rasa. After two darling? "
 
Kita bertemu, di tempat biasa. Entah sejak kapan tempat ini menjadi ruang padu kita berdua. Berbagi cerita. Mungkin karena satu-satunya tempat yang menyajikan bir dingin paling dekat. Waktu selalu singkat. Jam kerjanya dan jam kerjaku begitu sulit bertemu. Aku melihat rona gembira bersinar dari wajah mungilnya. Ada gairah hidup bersemat membara. Aku bisa turut merasakan dari tatapnya. Bahagia berpoles bingung tak terkira. Kesedihan tertutur dengan canda. Kesenangan berpadu duka. Bimbang dan bahagia padu, tak pada tempatnya.
 
"Aku hancur, aku jatuh cinta"
Aku menatapnya. Senyum merekah dan mata meminta cerita.
 

{rasa}
Ini tentang dia. Lelaki di belahan dunia berbeda. Rindu membabi buta.  Ya.. ya.. aku tahu baru juga beberapa hari bersua. Tapi tak berhubungan dengan waktunya. Kita bertukar kata tanpa henti, tukar canda, tukar waktu, tukar ide.. tanpa pretensi tukar rasa. Begitu nyaman bersamanya. Realita tak ada artinya. Tenggelam disana. Rasa ini menerkam. Asa ini lirih menyayat pedih. Aku begitu bahagia, tapi tetap ada air mata. aku kenapa?

-- candu dialektika, candu dia. arus seret bersama. jam tergesa. Tak ada hari tanpa sua, tapi tak cukup juga. Rindu melindu setiap waktu. Ini tentang dia. Lelaki yang mendera dinding jiwa. Berjuta tanya, aku kenapa?—
 

{logika}
Kau tahu... ini gila. Oklah, kemarin hanya pertemuan sementara. Beberapa hari kesepakatan dan sudah. Lalu pisah. Ya.. biasa saja. Bila waktu mempertemukan kita akan sua. Menikmati bersama. Kau tahu... beberapa hari setelahnya, debat tentang jumpa. Mencari kota. Buat apa? Siapa dia? Lelaki yang baru saja kujumpa, dengan beribu cerita miliknya. Dan aku dengan semua milikku.  Rasa menganulir semua. Aku ke bandara. Hey, kemana logika?

--tiga puluh menit lagi, ada pekerjaan yang menanti kehadiranku. Ada rindu mengetuk hati. Biar saja, jumpa takkan lama. Laju dipercepat agar tak telat. Rindu harus menunggu. Sapa melalui canggihnya teknologi komunikasi saja. Laju terhenti tiba-tiba, beberapa meter dari tujuan. Melihat jam. Berbalik arah. Aku perlu melihatnya, walau dua menit saja. Berjuta tanya, kemana logika?—
 

{rasa}  
Sentuh itu membara. Ada sengatan disana. Hasrat menyatu. Cumbu gelora. Padu tubuh, bumbu. Tetap kalah makna dengan menatapnya. Tantang kata, nyaman dan canda. Kemudian asa terucap, ah.. tentu darinya.. dengan imbuh ingin selamanya. Ini drama! Tapi toh aku jatuh didalamnya. Aku pun ingin yang sama. Satu roja. Terkam jiwa. Ini apa?

--ia mendekapku. wajah bertemu. Jantung berdegub kencang. Lompat ketukan pada tiap sentuhnya. Selalu saja genderang samba dengannya. Diam. Tatapan mata. Tubuh tak lagi berbicara. Bibir tak lagi punya kata. Hela nafas panjang dengan harap meringankan rasa. Habis logika. Jadi.. *hela nafas* ..ini apa? --
 
 
"Kau tau rasanya?"
Aku tersenyum dan mengangguk dengan enggan. "Ya.. tentu aku tahu." *isn't obvious* tergambar diraut wajahku.
"So... ini gila, aku harus bagaimana?"
 
 
{cinta}
Rasa tumpah membara. Sua tak pernah cukup juga. Ada sayat sedih sana sini. Berganti asa dan bahagia. Terpental-pental, tak di bumi tak dilangit. Tepat diantaranya berdinamika. Ah.. kenapa begini? cinta berporos bahagia. Biarkan saja dia menjadi dia, tapi harusnya ada kita. Lompatan irasionalitas dan pilihan untuk bersama buat apa. Dalam waktu yang terlalu singkat? Menggadai semua. Tak ada logika. Toh, buat apa. Mau kemana. Melepaskan adalah pilihan logisnya. Ini hanya cerita. Terselip dalam bab buku kenangan, tapi tak ingin menjadi bab. Namun selalu saja akan ada bab, bukan begitu? Tak seharusnya menuntut apapun disana. semua sudah sempurna. Biar dia adanya. Biar dia bahagia. Memberi tanpa meminta. Komitmen relasi tak ada. Lagi buat apa, itu realita milik mereka. Tak penting yang diluar sana. tapi siksa. Ini disini. Di hati. Ini cinta. Apa dia merasa sama. 
 
"Katakan padaku, aku harus apa?", pintanya di tengah hajaran cinta dan asa.
 
Geli tak terkira. Kujawab, nikmati saja. Memang bisa apa. Argumentasi ia bangun sedemikian rupa. Paradoks dan dialektika. Hambatan saluran rasa, menghujam jiwa. Tubuh mediasi tak sempurna. Tak ada kata yang mampu menceritakannya.
 
Hey, sudahlah. Kenapa mempersulit diri, sudah ada hidup yang melakukannya. Semua bimbang, resah, dan galau, itu padu logika rasa. Tuntutan semua berjajar sama, kemudian ada jalan berdua. Bersama. Lalu sibuk dengan gambaran dan asa. Lupa dengan rasa semesta. Berilah yang kau bisa. Dia adalah anugrah. Tak akan ada yang hilang, kau kan temukan diri disana. Semua sayat karena kepala, menuntut semua terlogika. Mencoba melukis hari esok – bermain prediksi dan semua jajaran konsekuensi. Siksa. Tapi tak terkontrol, kita manusia, ini eksistensi. Lompatlah, raih semua, bila itu dirimu. Paparkan semua kartu. Tawarkan tapi jangan tuntut dia melakukan sama, irasionalitas tak selalu berdua. Biar saja. Tuntutan tak ada dalam cinta. Berikan saja semua gelora dan tenaga. Biar semesta yang bekerja. Hidupmu; lewatkan atau jalankan. Apapun hasilnya; sempurna. 'At least I had loved you in my life'; isn't better to have loved than not at all? maukah kau mengambilnya?
 
"ooh... I'm so cheap and happy"
 
Aku tertawa.
--Ini cinta. Diri tak lagi berharga, bahkan di mata diri. Tertukar dengan bahagia dan limbung tak terkira. Aku tahu siksanya.--
 
Jam mengakhiri sua.
 
Suatu hari aku yang kan berkata, "hey.. aku mau berkata tentang rasa". 
 
 
 
 


Yogyakarta,saatnyaberdansasemesta, Desember 2010

Pertemuan, Rasa Dan Hal-hal Yang Tak SelesaiWhere stories live. Discover now