biar diam bicara

12 0 0
                                    

Sang Imajinasi. 00.00.0.0000

Ada masa dalam kehidupan, rentang kala antara yang terekspektasikan dan pemahaman waktu yang tak terelakan mengkristal. Imajinasi adalah utopia kuasa diri!

Sang Ekspresi. 14.30.2.3

Kusodorkan dihadapannya. Sebuah kartu terselip di atasnya. Matanya surga. Tatap yang sama yang menyeretku dalam kenikmatan delirium rasa. Ada keterkejutan yang aku tangkap disana. Kejutan yang memantik binar rasa. Tak ada kata. Terbata. Namun sinar matanya.. telah mengatakan semuanya.

Rasanya ingin menjelaskan kenapa aku membelikan itu, namun hanya sampai menjelaskan cara aku membelinya. Menjelaskan kenapa, mungkin akan terlalu panjang. Lebih-lebih bila argumentasi terhadap kuantifikasi nilai yang terepresentasi di dalamnya. Bukan hal yang sederhana, kurasa. Sebuah hadiah itu. Ia pesan. Ia makna. Ia nilai relasi. Ia banyak hal. Memilih hadiah, berarti memilih pesan. Menunjukan kedekatan atau motif kedekatan relasi. Ia harus cukup personal untuk menunjukan keintiman, atau cukup berjarak untuk memberikan 'kebebasan'. Aku memilih dengan berbagai pertimbangan. Takut mencederai kita. Terlalu banyak uraian bila menjelaskan makna.. kenapa.

Diam. Biarkan makna berkelindan. Mengurainya dapat menghapuskan makna.

Binar matanya sudah cukup – dan melihatnya, aku bahagia.

Menghidupkan utopia.10.002.3

Bulan merah jambu. Mendekati hari H, ada semangat yang tak terelakan. Aku ingin membelikan dia sesuatu. Untuk dibungkus manis, berpita, dengan sebuah kartu berbubuh peluk dan kasih sayang.

Bukannya aku merayakan valentine. Valentine hanya sebuah hari seperti kemarin, namun aku selalu suka perayaan; apapun bentuknya. Ada hangat yang tiba-tiba bersemanyam menyentakan semangat. Saatnya menegaskan kata-kata dalam permainan simbolik. Hasilnya tentu mengurangi angka rekening. Harga yang terasa tak seberapa dibanding nilai yang terkandung didalamnya.

Pada ranah kultural, hari valentine merupakan substitusi untuk menyamakan bahasa, atas sesuatu yang terlampau sulit memiliki kata; cinta. Pada ranah lainnya, ia hanya menjadi kedasyatan akal kapitalis untuk menggerakan modal. Valentine adalah sebuah brand, yang menggiurkan dan dibutuhkan semua orang. Berapa beruntungnya substitusi kini telah tersedia.

Senang hati kumelangkah di ruang pajang berhias hati dimana-mana. Aku memilih tak mengkritisinya. Ada rasa syukur luar biasa atas komoditifikasi nilai yang berputar dalam siklus tahunan. Tanpanya, hidup ini terlampau datar. Sungguh! Kritik sublimasi ekonomi nilai kadang terlampau dibesar-besarkan, aku sangat yakin, manusia sudah sepenuhnya sadar bahwa realitas tak menyajikan apa-apa. Tanpa simulacra spektakuler ini semua, fakta ketiadaan akan terlalu menyiksa manusia. Maka, semua masih bersedia bermain dalam ruang simbolik untuk mencari denyut rasa yang sudah tersingkap datar pada tiap harinya. Betapa beruntungnya manusia memiliki kapitalisme yang telah menyediakan semua, meski dengan imbalan harga.

Dengan ini semua, kita bisa mengangkat gelas di tengah malam bertabur hiasan kembang api. Kita bisa berjalan-jalan dalam bulan madu dan 'merasa' sakral. Kita bisa menyebut kata 'weekend' dengan segala ritualnya. Kita bisa masuk ruang karaoke dengan motif berbeda untuk merasa sedikit festif. Kita bisa menggunakan rok tutu ke kampus dengan membawa buket bunga tanpa rasa 'anomali'. Komoditifikasi telah memberikan justifikasi untuk semuanya. Kita membutuhkan semua itu. Momen-momen semu yang menyublimkan sejenak sebuah makna.

Valentine. Aku ingin membelikannya sesuatu. Mungkin untuk mengatakan sejenak bahwa aku mengingatmu, aku menyangimu, aku memikirkanmu, aku mempedulikanmu. Mungkin juga merasa senang memiliki sebuah perayaan sebab kita tak memiliki sebuah hari sakral atas apapun. Atau mungkin sekedar, ingin turut bermain dalam gelombang fluktuasi permainan pasar. Entah apa, aku tidak ingin menelaahnya. Mencari rasionalisasi hanya akan menghabisinya. Kadang buruknya menampar habis rasa menjadi 'manusia'. Aku ingin memberikanmu sesuatu. Berbungkus rapi, berpita, dengan sebuah kartu.

Sang Realitas. 09.00.2.3

Ia sodorkan satu bingkis berbentuk mawar merah. Aku kebingungan, ditengah nyawa yang belum terkumpul sempurna. Tak ada acara khusus untuk menyiapkan sebuah hadiah di hadapan mata. Ia membukanya, selepas reaksiku yg membisu. "Seharusnya kuberikan kemarin..", ujarnya. Ada yang bersinar disana. Ia mengambilnya.. "Seharusnya ia terukir.. tapi...". Ada sedih menghinggap diriku bercampur senang, dalam kebingungan luar biasa.

"Untuk apa? Kau membelikan aku cincin???", pertanyaanku diikuti jawabannya yang tak mampu kudengar. Ku ulang kembali sebagai pernyataan, mungkin untuk menyadarkan diriku sendiri; "kamu membelikan aku cincin".

Berjuta makna berkelindan menghantamku seketika. Apa makna yang sedang kau sampaikan? Perlukan membedah substitusi dan representasi tentangnya? Reaksiku bukan apa yang terekspektasi dalam utopia mimpi, sebab semua bentuk pesan tiba-tiba pecah dalam berbagai penjuru makna tak tentu arah.

Diam. Biarkan makna berkelindan berkecamuk rasa. Takut menghapus nyata.

Aku hanya harap, binar mataku cukup bicara.


Yogyakarta, escapisme-latihannulis, 21 Maret 2013

Pertemuan, Rasa Dan Hal-hal Yang Tak SelesaiWhere stories live. Discover now