BAB I

3.7K 184 4
                                    

Cahaya matahari yang baru saja terbit sulit menembus tirai tebal perpustakaan itu. Dari celah-celah tirai, cahaya kecil temaram berpijar, sedikit memperlihatkan isi perpustakaan.

Dua buku tebal ditumpuk sembarangan di atas meja baca tua. Seseorang duduk di samping meja itu, tampak tenang dan serius membaca sebuah buku tebal.

Dengan penuh konsentrasi, orang itu membalik halaman-halaman buku tersebut. Sepertinya dia tidak merasa perubahan waktu atau udara yang mulai menghangat. Rambut peraknya tergerai panjang dan bergelombang di ujungnya, kontras dengan kulitnya yang putih seperti salju. Jemarinya yang lentik dengan hati-hati membalik setiap halaman. Sesekali, senyum tipis terukir di bibirnya yang merah muda. Parasnya yang cantik dan menawan sejalan dengan kecerdasan dan kekerasan kepala yang dia miliki. Dia terkenal karena dua hal tersebut.

Suara burung-burung kecil membuyarkan pemikirannya yang tenggelam dalam buku "Seni Berperang."

Dia menutup buku itu dan berdiri. Tangannya menyibak tirai tebal di jendela, ingin merasakan cahaya matahari.

Langit biru cerah telah mengisi ruangan. "Sudah pagi," katanya lirih, kemudian meniup lilin di atas meja.

Dia juga bisa mendengar keriuhan pelan yang mulai terdengar dari bawah.

Sekali lagi, sebelum pergi, tangannya menyentuh buku bercover hijau yang baru saja dia baca. "Seni Berperang," bisiknya. Senyuman sinis merayap di bibirnya. "Jika berperang adalah seni, maka membunuh adalah salah satu cara untuk mengapresiasinya."

Tidak lama kemudian, dia mendengar ketukan pelan di pintu. "Athena? Apakah kau tertidur? Eh, aku rasa tidak mungkin," kata suara dari balik pintu. "Kau harus cepat keluar sebelum ibu tahu."

Athena ingin mengabaikan perintah Aegis.

Dia adalah saudara kembar Athena. Banyak orang tidak akan menyangka. Seorang Aegis yang ramah dan patuh dengan Athena yang pendiam dan misterius. Tetapi dari segi penampilan, tidak bisa dipungkiri bahwa mereka adalah saudara. Rambut perak, mata kelabu, dan kulit putih khas orang-orang dari utara. Banyak anak-anak lain sering mengejek mereka karena perbedaan fisiknya yang mencolok. Pada umumnya, orang-orang dari kerajaan Althina jarang memiliki kulit putih pucat karena selalu terpapar matahari sepanjang tahun, meski ibukota mereka jauh dari lautan.

Aegis menjadi gusar ketika Athena tidak menjawab. "Kau mendengarku, bukan? Apakah kau masih belum selesai membaca?"

"Aku akan keluar," jawab Athena singkat. Dia tidak terlalu menyukai sifat Aegis yang satu ini.

"Bagus," kata Aegis senang. "Cepatlah keluar. Aku akan menahan ibu saat sarapan."

"Ya," jawab Athena. "Terima kasih, Aegis," ucapnya dengan tulus.

Tidak lama kemudian, dia bisa mendengar langkah Aegis menjauh.

Athena menghela nafas lega. Kadang-kadang Aegis memang terlalu kaku.

Dia merenggangkan tangannya ke atas, merasakan kekakuan di punggungnya hampir seperti Aegis. Dia tersenyum pada pikirannya sendiri, kemudian menatap langit biru dari balik jendela. "Hari yang cerah untuk pergi ke kota. Ini akan menjadi hari yang menyenangkan... aku harap."

Dia ingat hari ini akan ada festival kembang api. Sebuah perayaan yang bisa dilakukan setelah Althina berhasil memenangkan satu perang di Frontliner. Athena tidak bisa menyembunyikan kemurungannya.

Peperangan sedang terjadi di seluruh penjuru Adrthe. Pemicunya beragam, tetapi salah satunya adalah perebutan tahta Adlantoraz. Ini petarungan yang akan menentukan siapa yang akan menjadi raja di Adrthe. Pada umumnya, pertarungan itu hanya di peruntukkan bagi kerajaan yang masih memiliki garis keturunan utama, Sang Pembawa Cahaya, dan kerajaan kecil seperti Althina dengan langsung tidak akan pernah mengikuti hal tersebut.

Athena Sang Dewi PerangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang