Langit mulai berwarna jingga. Matahari sebentar lagi hilang dari peraduannya. Sandi berlari-lari sambil memegang secarik kertas putih dalam keadaan sudah terbuka lebar. Ia berlari di pinggir jalan melewati beberapa pedagang kaki lima yang sudah siap menjajakan dagangannya sejak azan ashar berkumandang.
Dua ratus meter lagi Sandi mencapai tujuannya, rumah produksi batik milik Setyono-ayah Sandi.
"Mas Firman, bapak mana?" tanya Sandi pada salah satu pegawai ayahnya. Sandi memegang kedua lututnya saking capeknya berlari dari sekolah sampai sini. Nafasnya ia atur hingga stabil.
"Tadi bapak pulang ke rumah, den. Sekitar lima menit yang lalu."
Mata Sandi membelalak. Percuma saja ia jauh-jauh datang kemari jika orang yang dicari tidak ada.
"Yaudah kalo gitu, Sandi pulang aja lah, mas. Assalamualaikum."
Sandi berlari lagi keluar. Tak peduli seberapa lelah dirinya, yang penting ia cepat-cepat sampai rumah dan bertemu dengan orang tuanya karena ada sesuatu yang harus ditunjukkan.
"Bapak! Ibu!" teriak Sandi, padahal dirinya belum sampai teras rumah yang bernuansa serba kayu itu, mengetuk pintunya saja belum.
Saking lelahnya, rasanya nafas Sandi seperti mau habis. Sandi langsung mendorong pintu kayu dengan euforia.
"Ono opo, le? Wis kayak wong kesetanan." ujar bapak nya yang dipastikan ingin keluar rumah lagi.
"Ini, pak. Sandi punya sesuatu buat bapak." balasnya seraya memberikan secarik kertas yang tadi dibawanya.
Setyono merapihkan kertas alias surat resmi dari sekolah yang sudah agak lecek itu. Tanpa kacamata, ia membaca kata perkata yang tertulis disitu. Setelah membaca sampai inti suratnya. Setyono menatap Sandi serius.
"Le, ini beneran?" introgasi Setyono. Wajahnya terlihat sangat kaget saat membaca surat tersebut.
"Iya, Pak. Sandi dapet beasiswa sekolah di Jakarta!" ujar Sandi girang.
Setyono merasa bangga dengan anak sulungnya itu. Bagaimana tidak, Sandi mendapatkan beasiswa yang setiap tiga tahun sekali diadakan oleh pihak sekolah. Hanya orang beruntung yang mendapatkan beasiswa itu. Dan Sandi salah satunya.
Ayana- ibu Sandi baru saja datang dari arah dapur. Ayana mengampiri kedua pria yang tengah berbincang itu. Saat berada dihadapan mereka, Ayana menanyakan hal sedang dibicarakan oleh kedua pria itu. Betapa terkejutnya Alana saat mendengar penuturan dari Sandi.
"Alhamdulillah, le. Akhirnya kamu bisa mencapai cita cita mu yang ingin bersekolah dan sukses di Jakarta" ujar Ayana.
"Kapan kamu akan pergi kesana, le?" tanya Setyono
"Bulan depan, Pak" jawab Sandi
Setelah itu, Setyono berpamitan untuk pergi ke rumah yang dijadikan tempat untk pembuatan batik. Dan Sandi juga berpamit menuju kamar untuk mengganti pakaiannya. Saat sampai dikamar, Sandi langsung mengganti seragam sekolahnya dengan kaos oblong dan juga celana pendek.
Sandi duduk diatas kasur dan mengambil handphonenya yang berada diatas meja. Sandi mencari kontak salah satu teman kecilnya yang kini berada di Jakarta. Sandi mengabarkannya bahwa ia dapat beasiswa masuk ke sekolah favourit seJakarta.
Do, aku dapat beasiswa di Jakarta dan sekolahnya termasuk sekolah favourit se Jakarta.
Setelah mengirim pesan tersebut, tak lama ada sebuah balasan dari teman kecilnya bernama Aldo. Sandi membaca pesan itu dan segera ia membalasnya.
Iya, aku tak bohong. Bulan depan aku akan ke Jakarta
Setelahnya, tidak ada lagi balasan dari Aldo. Aldo hanya membaca pesan itu tanpa membalasnya. Sandi menaruh handphone tersebut ditempat semula. Ia berbaring diatas kasur sambil menatap atap langit kamarnya. Lalu matanya perlahan tertutup.
•••••—•••••
22 Mei 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Forbid
Teen FictionRadea Dewinta Mestachalicha perempuan kelahiran Jakarta 16 tahun yang lalu. Lahir dari keluarga yang nyaris sempurna namun menyimpan sejuta cerita masalalu yang penuh dengan pertanyaan. Begitu pula dengan Arsandi Putra Setyo hidupnya sempurna dengan...