2

22 2 1
                                    

Pagi ini cukup cerah namun matahari belum terlalu menampakkan sinarnya. Sepertinya mentari sedikit malas untuk menampakkan sinarnya buru buru.

Sama seperti Radea yang tampak malas. Padahal hari ini adalah hari pertama dimulainya belajar di sekolah barunya.

"Pagi ma." Rutinitas setiap pagi Radea saat turun dari lantai dua rumahnya. Namun dimeja makan itu hanya terlihat Rere, Mama Radea.

"Pagi sayang, sarapan dulu yuk." Ajak Rere.

"Iya ma. Oh ya papa kemana ma?" Tanya Radea sembari mengoleskan selai coklat kesukaan nya keatas selembar roti gandum.

"Biasa papa kamu berangkat pagi-pagi buat rapat sama kliennya di Bandung." Rere terlihat sibuk dengan tumpukan piringnya yang berada di bak cuci piring.

"Huft." Radea mendengus kesal "aku berangkat sendiri lagi dong Ma?" Lanjutnya.

"Ya" jawab Rere singkat.

"Yaudah aku berangkat sekarang ya Ma. Takut telat, bye Ma." Radea pergi setelah memakai sepatu nya.

"Yelah jam segini mau naik apaan." Radea melirik arlojinya.

Dari kejauhan terlihat seorang laki laki mengendarai motor matic dengan helm berwarna hitam dan jaket. Radea mengira bahwa itu adalah tukang ojek yang biasa berlalu lalang di dekat rumahnya.

"Stop!" Radea memberhentikan motor itu.

"Bang ojek ya. Anterin saya dong ke SMA Jayabaya." pinta Radea. Namun Radea terkejut saat orang itu membuka kaca helmnya.

"Radea aku ini Arsa bukan tukang ojek." Protes Arsa karena dirinya disebut tukang ojek. Bukannya meminta maaf Radea malah tertawa.

"Lah gue kira tukang ojek langganan gue. Ternyata lo.. hahaha" Radea belum selesai berbicara dia malah melanjutkan tertawa nya.

"Bukannya minta maaf toh ini malah ketawa. Yaudah saya duluan ya, bye." Arsa memakai kembali helmnya dan menghidupkan mesin motornya.

"Eh tunggu." Radea menahan stang motor Arsa "gue bareng ya, papa gue diluar kota. Terus juga dari tadi gak ada tukang ojek lewat. Boleh ya please." Mohon Radea sambil menggoyang-goyangkan badan Arsa yang tidak terlalu gemuk dan juga tidak terlalu kurus.

"Gak mau. Kamu berangkat aja sendiri, saya marah sama kamu." Arsa melengos.

"Yelah. Dasar jawa, gitu doang marah. Please ya, ntar gue jajanin deh di Sekolah, atau bensinnya gue isiin full tank gimana?" Tawar Radea dan Arsa hanya mengusap-usap dagunya.

"Hmm. Beneran kan full tank? Kalo iya saya mau, tapi kalo nggak. Kamu berangkat aja sendiri."

"Elah kapan gue pernah bohong. Yaudah gue naik ya."Radea naik ke atas motor itu tetapi Arsa tak kunjung menjalankannya.

"Bener ya, kalo nggak awas lho. Saya udah tau rumah kamu, ntar saya samperin mamanya sampean." Dengan muka polosnya akhirnya Arsa pun menjalankan motor nya.

"Oh ya. Kok lo bisa punya motor? Bukannya lo baru beberapa hari disini." Tanya Radea penasaran.

"Saya udah punya motor dari jaman saya naik kelas sembilan. Terus saya pindah ke Jakarta, kata bapak motornya dibawa aja. Yo wes tak bawa motornya, gitu." Jelas Arsa dengan logat yang masih kental dengan Jawa.

"Ooh." Radea mengangguk faham.

•••^•••

"Dah sampe." Seru Arsa. Radea turun dari motor itu. Arsa pun melepaskan helmnya.

"Gue ke kelas duluan ya. Bye." Radea ingin pergi namun tangannya di tahan oleh Arsa.

ForbidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang