CHAPTER 1: Stranger on Train

1.5K 124 29
                                    

Jemari pucat itu meremas tepian buku yang sedari tadi belum berpindah halaman. Keira tidak bisa mengalihkan pikiran dari rasa cemas yang menimbulkan sensasi mual di perutnya sejak empat puluh lima menit lalu. Pagi belum merekah, namun kereta tak ramai penumpang itu sudah melesat menembus gelap, membawa Keira meninggalkan kota kecil yang ingin ia hapus namanya.

Jam baru menunjukkan pukul 05.50 pagi. Sesekali, Keira melirik jendela buram di sampingnya yang menampakkan kilau pudar kekuningan dari lampu-lampu gedung yang letaknya jauh. Kabut tebal penghujung musim gugur membuat siluet bangunan-bangunan itu tampak seperti bayang-bayang kelabu berkelebatan.

Perjalanan ini terasa sunyi, sebagian besar penumpang memilih melanjutkan tidur mereka setelah bangun pagi buta untuk menunggu kereta di stasiun. Beberapa penumpang yang masih terjaga memilih untuk menyibukkan diri dengan ponsel mereka, sisanya menunduk membaca buku. Sementara itu, sosok laki-laki yang duduk di samping Keira sedari tadi fokus menggambar sketsa di iPad. Kedua telinganya tersumpal headphone, memisahkan kesadaran laki-laki itu dengan dunia di sekelilingnya.

Keira menutup bukunya, tidak ingin repot-repot berusaha fokus membaca saat hati dan pikirannya sedang carut-marut. Mungkin, dengan tidur ia bisa sejenak melarikan diri dari apa yang menghantuinya. Masih perlu menempuh perjalanan selama tujuh jam lagi untuk sampai ke Boston, kota yang akan menjadi tempat pelarian bagi Keira dari luka-lukanya.

Kereta terus melaju dengan kecepatan konstan. Keira merebahkan kepala ke sandaran kursi dan memejamkan rapat matanya. Menit-menit berlalu dengan sunyi namun rasa kantuk tidak juga menghampiri Keira. Ia justru merasa semakin mual. Perjalanan jauh memang tidak pernah cocok untuknya.

Keira akhirnya menyerah dan kembali menegakkan posisi duduk. Perutnya terasa sangat tidak nyaman. Ia menarik lengan sweter hingga menutupi jari-jarinya yang terasa agak kebas akibat hawa dingin. Sistem penghangat udara dalam kereta tampaknya tidak bekerja dengan cukup baik.

Seharusnya ia mengenakan pakaian yang lebih hangat, pikir Keira.

"Hei, kau mau teh?"

Keira sedikit terperangah karena sosok laki-laki berkacamata di sampingnya tiba-tiba bersuara setelah satu jam terakhir memilih membisu dan tenggelam dengan semestanya sendiri. Sebelumnya, satu-satunya bentuk interaksi yang terjadi di antara mereka hanyalah saat laki-laki itu mengangguk sopan ketika mengambil tempat duduk di samping Keira. Headphone yang tadi menyumpal telinganya kini menggantung di leher. Sementara itu, iPad-nya berada di pangkuan. Keira sempat melihat sketsa rumit pada layarnya.

"Maaf?" Keira berusaha memastikan pendengarannya.

Laki-laki yang mengenakan hoodie abu-abu tua itu menatap Keira lurus. "Aku membawa teh hangat. Kau mau?"

Keira tercenung. Kenapa tiba-tiba sekali?

Tanpa menunggu Keira memberi jawaban, laki-laki itu mengeluarkan termos portable berwarna hitam dari ranselnya. Ia menuangkan teh ke dalam tutup termos yang juga berfungsi sebagai cangkir.

"Kuharap kau tidak keberatan dengan rasa pahit dari teh hijau pekat. Ini akan membuatmu merasa lebih baik," sambungnya seraya mengulurkan cangkir berisi cairan hijau berkepul. Aroma khas teh hijau menguar di udara. "Kau tampak pucat."

Keira terdiam. Matanya menatap uluran cangkir itu dengan ragu-ragu. Uap yang keluar dari teh memberi kesan tertentu pada sekelilingnya; seperti hal paling ramah di tengah ruang kompartemen kereta yang hening, dingin, serta berpenerangan payah itu.

Keira bertanya-tanya dalam hati apakah saat ini ia terlihat seperti orang yang sedang sakit, sampai-sampai orang asing memberinya teh hijau hangat.

"Jangan khawatir, tidak ada racun di dalamnya." Laki-laki itu berseloroh melihat raut bingung Keira.

Snowflakes in BostonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang