[1] Sang Peracik

153 14 4
                                    

"Rangga, apa kau ingin pesan sesuatu?"

Semua lamunanku seketika buyar begitu saja setelah mendengar pertanyaan mendadak seperti itu.

"Ah, tidak" jawabku sedikit terkejut.

Ah, rupanya Eric sudah berdiri dihadapanku. Perawakannya bisa bilang lucu dengan celemek hitam yang dikenakannya.

Aku masih ingat, sekitar beberapa menit yang lalu. Dirinya dibuat mondar-mandiri dengan nampan berisi beberapa cangkir kopi yang dibawanya kesana kemari.

Dan aktingnya yang hebat untuk sebisa mungkin bersikap ramah pada pengunjung setia kafenya.

Sikapnya yang bisa dibilang 'jahil' ketika di kelas, hilang sudah.

"Aku hanya sekedar mampir. Abaikan saja aku, hari ini kau terlihat sangat sibuk," sambungku.

Tidak, lebih tepatnya setiap hari. Kurasa disinilah ia menghabiskan liburan semesterannya.

Tanganku kembali mengutak-atik tombol kamera untuk sekedar mengecek hasil gambar yang kudapat ketika hendak kemari.

Ketika aku kembali melirik ke arah Eric, rupanya ia sudah tidak ada di tempatnya. Ah sudahlah, biarkan saja.

Tiba-tiba saja aku merasa ada yang datang kearahku. Ketika aku mendongak, ternyata Eric, dengan membawa secangkir kopi ditangannya lalu didekatkan ke arahku.

Ia lalu duduk bersebrangan denganku yang dibatasi oleh sebuah meja bar.

"Silahkan. Jika aku membiarkan seorang saja pengunjung, Huft...aku bisa 'abis' oleh ayahku," katanya sembari bertopang dagu.

Aku menggenggam cangkir kopi yang ada dihadapanku itu. Aku melihat bayanganku terlukis diatas permukaannya

Tak kusangka, sobatku yang satu ini sangat jago dalam hal meracik kopi. Itulah alasan kenapa kafe milik ayahnya ini tak pernah sepi.

"Terima kasih Eric, tapi..."

Aku sedikit enggan untuk menyelesaikan kalimatku.

"Aku tidak sedang membawa uang," baiklah aku telah mengucapkannya.

Mau gimana lagi, sepertinya dompetku tertinggal dan aku tidak punya pilihan lain lagi selain jujur.

Aku kembali memandang kearah Eric, matanya melebar dan masih terdiam menatapku, tapi tiba-tiba saja tawanya langsung pecah.

Ia tertawa sampai membungkukkan punggungnya dan tangannya kanannya asik memukul mukul meja, sedangkan tangan kirinya memegang perutnya yang geli.

"Ternyata itu toh masalahnya," bahkan ia masih lanjut tertawa di tengah-tengah kalimatnya. "Kau lucu sekali." Perlahan lahan tawanya pun mereda.

"Oke baiklah, untuk kali ini, kau aku traktir," sambungnya. Ia meletakan salah satu tangannya dibawa dagu dan berguman seperti memikirkan sesuatu. "Atau kau bisa membayarnya dengan jepretan kamera."

Oke, kurasa ia teman yang baik di tanggal tua.

...

ThyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang