Hembusan angin membelai wajahku. Pandanganku masih saja gelap. Sudah beberapa kali aku mencoba membuka mata, tapi aku masih jauh dari kata sadar.
Hingga akhirnya mataku tanpa aku sadari terbuka sendirinya. Semuanya masih terlihat putih, lalu lama-lama pudar. Terlihat samar-samar aku mulai bisa melihat. Apa ini masih bagian dari mimpi atau tidak.
Aku mulai sadar, aku berada di sebuah ruangan asing. Aku memalingkan pandanganku ke kiri, terlihat seseorang yang tidak asing sedang duduk memandangku dengan ekspresi terkejutnya.
Tunggu siapa? Aku masih membutuhkan waktu lama untuk memperoses ingatanku.
Ia seperti mengatakan sesuatu, bibirnya bergerak, tapi indraku yang baru sadar masih tuli.
Perlahan aku merasa kembali. Seseorang yang di sampingku itu Eric. Ia terlihat senang sedikit lega.
Kantung matanya menjelaskan bahwa ia tidak tidur semalaman. "Kau akhirnya sadar juga."
Aku pun memandang diriku yang saat ini. Aku mencoba menggerakan tubuhku berlahan. Tubuhku penuh dengan perban, mungkin saja saat itu aku mendapatkan banyak luka.
Kepalaku di perban, didahiku ada kapas besar tertempel. Terasa pusing saat kucoba menggerakan kepalaku.
Kedua tanganku bisa digerakan hanya saja entah kenapa masih terasa kaku.
"Sudah berapa lama?" ucapku pelan tapi Eric bisa mendengarnya lalu berdiri dari tempat duduknya dan memandang keluar dari jendela
"Kalau aku beri tau nanti kamu kaget loh hehehe. "
Sempat-sempatnya ia mengatakan seperti itu saat ini. Benar-benar buat jengkel, tapi setidaknya untuk saat ini aku tidak punya cukup tenaga untuk sekedar menjitaknya.
Aku pun hanya bisa diam.
"Tidurmu nyenyak sekali loh, sampai tiga hari."
Hah, tunggu sebentar. Tiga hari? Apa dia becanda?
"Aku ga becanda kok. Insiden ledakan di tempat itu memang terjadi tiga hari yang lalu, " seperti bisa membaca pikiranku ia menjawabnya.
"Kurang beruntungnya saat kejadian itu kamu berada didekat sana," lanjutnya.
Aku tak menyesalinya. Kejadian seperti itu sangat diluar kehendakku. Mungkin yang di katakan Eric ada benarnya.
"Tapi di saat yang bersamaan juga, kamu orang yang sangat beruntung karena insiden itu hanya menyisakan kamu dan bocah itu sebagai korban selamat," jelasnya.
Aku masih kurang mengerti. Aku membiarkan diriku terbaring dan mengadap bagian atas dari ruang itu. Tangan kiriku juga kubiarkan menutupi kedua mataku. Sedangkan tanganku yang satu lagi sedang sibuk diinfus.
Pikiranku mencoba kembali ke saat-saat itu. Ketika dari tempat Eric, aku hanya berjalan di pinggiran jalan dan saat itu juga kameraku hampir tercuri. kamera?
"Eric, seingatku aku membawa kameraku saat itu."
Eric yang mendengarnya langsung menoreh kepadaku lalu berjalan memutari ranjang dan mengambil sesuatu di rak yang berada di sebelah kananku.
Aku tidak menyadari kalau dari tadi benda itu ada disebelahku. Eric yang mengambilnya lalu menunjukannya padaku.
"Kupikir masih bisa di gunakan, hanya saja kaca lensanya retak dan ada beberapa goresan."
Tanganku yang menerimanya segera mengutak-utik benda itu dan mengecek beberapa tombol apakah masih berfungsi dengan baik atau tidak. Setelah semua itu, ternyata aku hanya perlu memperbaiki bagian lensanya yang sedikit bermasalah.
Jujur saja, benda yang sekarang kupegang itu telalu berat untuk tanganku yang sekarang. Aku tak bisa mengangkatnya, hanya meletakannya diatas dadaku sambil menekan tombol untuk melihat beberapa hasil foto.
Mengetahui itu Eric langsung berbicara, "ah aku sempat menggunakannya tanpa seizinmu hehehe," katanya sambil terkekeh dan mengusap bagian belakang kepalanya.
Aku melihat beberapa hasil foto yang cukup asing. Foto yang pertama aku liat adalah diriku yang sedang berbaring, gambar ini akan benar-benar mengingatkanku, aku akan di buat sadar ketika melihatnya, kalau aku yang saat ini pernah terluka karena hal keceroboh.
Gambar kedua, seorang bocah laki laki dengan beberapa luka di wajah, selebihnya ia terlihat baik baik saja.
"Anak itu yang menginginkan kameramu. Tetapi dia jugalah yang mengembalikannya." kata Eric yang sendari tadi ternyata mengintip apa yang sedang aku lihat.
"Aku memotretnya agar kau bisa mengingat wajahnya. Dia juga menitipkan surat sebelum pergi." Eric merabah atas meja dan menemukan selembar kertas yang terlipat dan memberikannya padaku.
Dipermukaan kertas itu tertulis sebuah kalimat.
Untuk 'Kakak yang kameranya aku ambil'
Aku lalu membuka kertas itu. Sungguh tulisan yang khas seorang anak dengan huruf- huruf yang di tulis besar.
Aku Roy, saat aku bangun 'kakak yang kameranya aku ambil' masih tidur. Kata orang 'kakak yang kameranya aku ambil' sudah nyelametin aku. Aku mau mengembaliin kameranya juga mau bilang makasih.
Ia mengakhiri surat itu dengan gambaran karater smile dan juga senyum cerianya.
Mata dari kedua titik, goresan hidung pendek, muluk panjang yang melengkung keatas dan semua itu ditutup dengan kepala yang berbentuk lingkaran. Lucu sekali, bagi aku yang hanya bisa menggambar stickman.
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Thy
Short StorySial, Rangga harus merelakan waktu liburannya di rumah sakit. Kejadian yang menimpanya, benar benar pangalaman terburuk sepanjang hidupnya. Tetapi Tuhan berkata lain. Pengalaman terburuknya itu, adalah sepercah harapan bagi gadis bernama Lily yang s...