[2] Kejadian

111 14 7
                                    

"Jangan lupa dicetak loh!" dia mengeluarkan suara cukup keras sembari melambaikan tangannya kearahku, disaat tepat aku akan membuka pintu keluar dari tempat itu.

Aku juga membalasnya hanya dengan lambaian tangan. Ya, karena aku tidak terlalu suka mengeluarkan suara keras-keras.

Kringg..
Denting lonceng kecil yang disematkan di atas pintu kaca utama cafe itu. Mungkin sebagai penanda ada yang datang juga ada yang pergi.

Kini aku sudah berada diluar, Eric kembali ke rutinitas liburannya. Lalu aku, melanjutkan rutinitasku menyelusuri kota.

Sama seperti kota biasanya, jalanan sibuk, gedung-gedung tinggi dan bukan hanya aku yang jalan di trotoar. Tugas pewenangan kota ini kurasa berjalan dengan baik.Hanya sedikit kendaraan pribadi, masih banyak lahan lahan rindang. Semoga saja aku bisa betah hidup disini.

Sudah enam bulan sejak kedatanganku untuk melanjutkan pendidikan setelah SMA, kuliah di luar kota memang menuntut untuk bisa mandiri. Jika aku masih ingin hidup maka setidaknya punya penghasilan sendiri.

Selama ini aku bergantung pada hasil uang fotografiku dan uang saku bulanan. Terlintas di pikiranku mungkin melamar pekerjaan di tempat Eric.

Aku rugi karena baru mengenal orang baik sepertinya 3 bulan yang lalu dan ini pertama kalinya aku sempatkan diri mengunjungi cafe milik keluarganya. Setelah ini aku berencana membuat surat lamaran, setidaknya ada uang yang bisa ditabung.

Aku masih jalan di pinggir trotoar sembari mengecek hasil fotoku lalu berhenti sebentar jika melihat view yang bagus untuk diabadikan.

Hingga aku lupa situasi sekitarku.
Sial, aku lengah, sesuatu yang sedang kupegang disambar seseorang. Kameraku dicuri.

Aku lari begitu menyadarinya, lari melawan arus menembus keramaian orang lalu lalang. Sudah beberapa kali aku menabrak orang, aku tak peduli.

Aku tidak ingin kehilangan sesuatu yang berharga bagiku. Aku masih bisa melihat pelakunya, seorang bocah laki laki yang cukup lincah. Tangan kanannya masih mencangklong kameraku.

Sepertinya bocah itu salah sasaran. Jika adu lari seperti ini tentu saja aku lebih unggul dengan peringkat nilai olahraga yang tertinggi di kelas. Tak butuh waktu lama tanganku hampir menggapainya.

Hal tak terduga terjadi.
Sebuah toko dekatku mengeluarkan semburan api dengan tekanan dahsyat. Seketika serpihan kaca berterbangan di sekelilingku.

Suara ledakan sangat keras, hingga telingaku berdengin tak bisa mendengarkan dengan jelas. Apa yang sebenarnya terjadi.

Reflek tanganku meraih bocah itu lalu merangkulnya. Aku terlempar, beberapa kali aku melihat aspal jalan, lalu langit, aspal lagi, berulang ulang hingga akhirnya aku tak bisa melihat apa apa.

Aku hanya bisa merasakan sakit di sekujur tubuhku. Aku tidak tau apa jantung akan berhenti sekarang atau tidak, hanya saja seperti melambat. Hingga akhirnya aku kehilangan seluruh rasaku. Aku mati rasa.

...

ThyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang