Note: Penulisan kisah masa lalu pada awal cerita tanpa menggunakan huruf italic namun ditandai dengan pembagian waktu yang sudah diberi tanda bold. Semoga tetap merasa nyaman, terima kasih.
Megeve-Rhone Alpes, Paris.
14 Februari 2014
Jimin melebur dalam satu getaran yang sama dengan wanita pada batas penghujung gairah tertingginya. Menangkap gelombang-gelombang pelepasan tanpa henti dengan cengkeraman kuat pada pinggul belakang kekasihnya. Napasnya memburu, menerobos berkali-kali sebuah titik menyengat yang menghantarkannya pada nikmatnya nikmat sebuah nikmat.
Menimbulkan kegaduhan panas di setiap sisi-sisi ruangan setengah temaram dengan butiran hujan salju di luaran. Geraman rendah serta mata layu Jimin yang berpeluh napsu menggulung buncahan tak tertahan dari sang wanita untuk segera melepas banyak-banyak hasil penyatuan mereka.
Sungguh, sekalipun empat atau lima kali membuat wanitanya mampu mencapai garis putih karena terbelenggu pergerakan liar menggilanya, Jimin takkan berhenti. Karena ia juga sama tersiksanya jika tak mampu menghamburkan jutaan peluru penghidupan yang sudah diakumulasikan sejak tadi.
Benar, sejak tadi.
Sejak matahari bilang ingin bangun, namun karena salju ia kembali tidur. Harusnya sekarang memang sudah pagi dan harusnya juga mereka sudah mampu untuk berhenti. Bukan terus tenggelam seperti ini.
Ia sudah terlalu lemah untuk memenuhi kemauan tak terbatas milik Jimin.
"Sebentar lagi, aku janji." Menatap lekat kedua mata bidadarinya tanpa berhenti untuk tetap bergerak. Membelai pipi wanitanya dengan ciuman kilas berulang. Nada suaranya dalam, padam membisikan hasrat di ujung puncak, terbakar habis oleh gairahnya sendiri.
Seulgi, wanita cantik dan sayangnya memberikan persetujuan lewat senyuman lembut. Menatap penuh kasih, mengusapi pelipis basah kekasih tampannya.
Kemudian memilih membekap suaranya pada belahan bibir hangat Jimin. Memejam dan memeluk lebih erat tubuh kekasihnya dari bawah, dari posisinya sejak tiga puluh menit lalu. Yang juga sudah ia lakukan selama empat kali dalam semalam.
Dorongan penuh kekuatan dan kekuasaan yang Jimin berikan kepada Seulgi memberikan efek yang keterlaluan surganya. Memaksa untuk menjeritkan suara tertahan milik kekasihnya yang sudah parah habisnya dimakan malam. Seulgi tak bisa jika terus diam, deritan tempat dimana mereka mengumpulkan belenggu napsu pun ikut bersuara.
Sumpah demi apapun, Jimin terlalu cepat bergerak. Juga terlalu kuat menekan-nekan. Dan geraman suara rendahnya semakin jelas terdengar. Seulgi hanya mampu memejam, meremasi kedua lengan Jiminnya dengan sisa tenaga yang ada. Menyalurkan rasa nikmat tak terbantahkan.
Jimin akhirnya menggelap, menyatukan dahi penuh peluh mereka dalam kehangatan yang luar biasa indahnya. Karena ia sedang melepaskan semuanya, membiarkan keseluruhan aliran panas itu menyatu dengan tubuh Seulgi, lagi. Ini sudah yang kedua kalinya bagi Jimin. Lalu menghempaskan napas kelegaan namun memburu cepat pada sebelah telinga wanitanya.
"Love you..."
Setelah merasa Jiminnya sudah selesai, Seulgi meraih lagi bibir Jimin pada manisnya sebuah ciuman, mengucapkan rasa terimakasih untuk kebahagiaan yang ia dapatkan hari ini.
"Much more..."
Jimin merasa Seulgi meremasi rambutnya saat balasan ciuman darinya semakin melembut. Karena memang begini, Seulgi tak pernah bisa mengimbangi sentuhan mematikan yang Jimin berikan pada bibirnya atau bagian lain dari tubuhnya. Ia lemah dan Jimin terlalu kuat untuk menjadi lawannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Between Reality and Dreams
RomanceLebih baik tak usah berangan-angan, jika akhirnya kenyataan yang menentukan segalanya.