Chapter 1

17 1 0
                                    

Februari, 2017.

Kubuka mataku yang sembab karena, ya, aku menangis lagi. Bahkan ketika aku menutup mata untuk terlelap pun, aku menangis. Kata Dena, tangisku pilu. Sudah hampir dua minggu, karena dia. Orang yang aku cintai dan aku sia-siakan. Aku terlambat menyadari bahwa aku mencintainya, sangat mencintainya. Bukan berarti bahwa cintaku bertepuk sebelah tangan, namun karena kebodohan dan keegoisanku sendiri yang pada akhirnya menyeretku pada penyesalan-penyesalan yang amat besar.

"Deeeel, katanya hari ini berangkat, ayo bangun"

Seruan Dena membuyarkan lamunanku. Aku hanya menyahutinya dengan gumaman kecil, entah dia mendengarnya atau tidak. Setelah itu aku bergegas ke kamar mandi, berganti pakaian dan tak lupa memakai concealer untuk mataku, karena jika aku tidak memakainya sepertinya aku terlihat seperti seseorang yang tidak tidur selama seminggu. Dan tentunya, mama akan menjadi khawatir. Setelah benar-benar siap, aku bergegas untuk pamit kepada mama dan Dena. Sesungguhnya aku benci berada di momen-momen ini. Mengucap perpisahan. Aku benci perpisahan walaupun aku tahu, perpisahan merupakan kodrat kita sebagai manusia. Semua pasti mengalami perpisahan, entah ditinggalkan atau meninggalkan.

Aku sengaja tidak mau diantar ke bandara, karena kurasa jika melihat mama dan Dena di bandara aku akan bisa membatalkan semuanya. Aku tak sanggup. Pagi ini aku akan berangkat menuju Korea Selatan untuk melanjutkan studi S2. Alhamdulillah, dengan beasiswa penuh. Dan tentunya, untuk melarikan diri. Alasan kedua merupakan alasan yang bagi sebagian orang tak akan mengerti. Namun, itulah yang akhirnya menjadi pilihanku. Bisa ditebak, aku melarikan diri dari dia.

Pukul 9.00 aku sudah berada di dalam pesawat. Tempat dudukku berada di samping jendela. Aku semakin gelisah. Mengingatkanku pada saat dulu, saat aku dan dia masih menjadi teman biasa. Saat perasaanku padanya belum kusadari. Dan saat itu, aku bahagia. Sebenarnya hari ini sangat cerah. Ketika melihat awan-awan yang menggantung di langit sebelum aku berangkat ke bandara, aku sedikit kesal karena tepat di saat suasana hati dan mataku sedikit mendung, justru suasana di luar sana sangat cerah. Namun, ada baiknya saat aku sudah di dalam pesawat karena aku bisa melihat awan-awan yang putih seperti kapas itu. Sedikit menjadi moodbooster-ku.

Kupasang earphone di telingaku, dan kumainkan lagu-lagu kesukaanku. Aku adalah tipe orang yang melankolis, jadi sangat bisa ditebak kalau isi lagu-lagu di handphone-ku adalah lagu-lagu mellow, walaupun ada beberapa lagu-lagu EDM, pop ataupun hiphop, namun jumlahnya tidak banyak.

Aku menggigit bagian bawah bibirku saat tiba-tiba tanpa sengaja Adele menyanyi dengan merdunya lewat handphone-ku. Someone like you judulnya. Tak terasa bayang-bayangnya kembali muncul. Kenangan-kenangan ku dengan dia berputar layaknya film di benakku. Dan, aku kembali mengingat saat-saat aku pertama kali mengenalnya. Agak terlihat klise mungkin untuk sebagian orang, namun sejujurnya perkenalanku dengannya tidaklah se-special yang kalian bayangkan.

Saat itu adalah hari pertama ospek fakultas. Aku bertemu dengan dia karena tugas kelompok yang diberi oleh para kating. Bisa dibilang bahwa kelompokku saat itu adalah kelompok paling rusuh. Memang seru, tapi aku tetap tidak nyaman, awalnya. Karena aku cenderung introvert, dan sepertinya dia memahamiku karena hanya aku, yang paling sedikit bicara kala itu. Karena sifatku itu, aku juga sering merasa kesepian walaupun sedang berada di keramaian. Bukan, aku bukan anti sosial. Aku hanya butuh waktu lama untuk bisa beradaptasi di lingkungan baru.

Namanya Abi Bayu Dermawan. Biasa dipanggil Abi. Karena namaku dan namanya yang kebetulan sama-sama berawalan huruf A, maka dari itu kita bisa berada dalam satu kelompok. Abi cenderung ekstrovert, jadi bisa dibilang kami sangat tidak cocok pada awalnya. Abi sangat percaya diri, sedangkan aku terkadang rendah diri. Abi sangat berisik, sedangkan aku hampir tak terdengar suaranya. Abi adalah tipe orang-orang yang suka berorganisasi, sedangkan aku lebih suka membaca buku. Abi sangat mudah bergaul, sedangkan aku butuh waktu sedikit lama untuk bergaul. Abi cepat beradaptasi, sedangkan aku butuh waktu lama.

Disamping perbedaan itu kita masih memiliki beberapa persamaan yaitu, sama-sama suka pedas, drama korea (meskipun dia tidak se-excited aku), sama-sama ingin dapat beasiswa ke Korea, dan kita sama-sama satu jurusan saat itu. Bagi seorang fangirl seperti aku, mempunyai seorang teman lelaki yang juga menyukai drama korea dan seluk beluknya merupakan suatu hal yang sangat berarti. Karena sedikitnya populasi seorang lelaki yang juga suka hal-hal berbau Korea, maka dari itu akhirnya kita menjadi teman dekat. Ya, setidaknya sampai aku memutuskan untuk berhenti menghubunginya belakangan ini.

Ah ya, ada lagi persamaan kita yaitu, sama-sama tinggal di satu kompleks. Pantas saja, saat melihatnya di kampus aku merasa familiar. Dan ternyata, kita juga sama-sama berasal dari SMA yang sama, hanya saja aku IPA 1 sedangkan dia IPA 5.

Setelah semua ospek selesai, entah mengapa kita dipertemukan lagi dalam kelas yang sama. Hampir di setiap mata kuliah. Dan, sejak saat itulah aku menjadi dekat dengannya. Dan saat itulah, aku juga mengetahui kalau dia juga suka drama Korea, yang baru ku ketahui setahun yang lalu, kalau ternyata dia suka drama Korea karena aku. Dia bilang bahwa sebenarnya pada saat aku bertemu dengannya pertama kali, di tahun 2012 (saat kita sama-sama menjadi mahasiswa baru) dia hanya melihat satu drama korea yang pada saat itu sangat terkenal. Dan saat melihatku bercerita dengan sangat bahagia, akhirnya dia memutuskan untuk menyukai drama Korea juga. Agar pembicaraan kita nyambung dan bertahan lama, katanya. Waktu itu.

Andai waktu dapat kuputar kembali, andai aku dapat kembali pada masa itu. Sayangnya, aku tak bisa. Tak seorang pun bisa. Dan kini, yang terisisa hanya kenangan-kenangan indah namun sangat menyakitkan bila diingat.

Abi adalah patah hati pertamaku. Mungkin juga yang terakhir? Entahlah. Namun, Abi juga cinta pertamaku. Dia penyesalan terbesarku. Aku tidak menyesal bertemu dengannya, bahkan mungkin menjadi pertemuan terindahku dengan seseorang. Aku hanya menyesali kebodohan dan egoku sendiri. Hingga aku ingin, hilang tanpa ada jejak di hidupnya. Abi adalah cerita indah sekaligus pahitku. Abi adalah hari dan hatiku. Abi adalah kelabuku, kelabu yang akan aku ceritakan kepada kalian semua. Tentang masa-masa bahagiaku, serta saat ini, masa kelamku.

Seperti kata Boy Candra dalam bukunya yang baru saja aku baca beberapa hari yang lalu, "Hujan dan kamu adalah kenangan yang tak pernah lapuk dari ingatan. Namun, kini seolah sedih dan hujan adalah teman sejalan. Aku tidak lagi bisa memelukmu saat hujan turun. Meski setiap kali hujan turun, aku selalu bisa menemukanmu dalam ingatan. Seseorang yang dulu bersikeras mengajakku bertahan. Katamu, apapun yang terjadi tetaplah denganku. Begitu manis dan selalu menguatkan. Hal yang akhirnya sulit untuk membuatku merelakanmu, bahkan dalam ingatan. Kamu menjadi kisah sedih yang kini meninggalkan pedih. Setiap kali hujan turun aku kembali mengenangmu. Ingin lari, ingin menyudahi, tetapi hati dan segala hal yang pernah terjadi, tak mau lagi peduli. Hujan kini tak lagi semenyenangkan saat bersamamu. Hanya turun dengan rasa rindu yang berakhir pilu."- Senja, Hujan, dan Cerita yang telah Usai.

Dan aku disini, merindukanmu. Sendirian.

---------------bersambung---------------

Karena ini adalah karya pertamaku, kritik dan saran sangat diperlukan. Hope you all enjoy this story.

KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang