Untitled Part 4

557 97 12
                                    

Hitoka baru akan berdiri ketika derasnya tetesan hujan menghampiri kaca di samping mereka. Dengan wajah tertekuk, gadis itu mengurungkan niat untuk berdiri dan merapikan barangnya di atas meja. Mereka pulang ke hotel dengan naik angkutan umum, sebuah metro, tidak mungkin mereka menuju pemberhentian metro dengan basah kuyup. Terlebih lagi dengan hujan sederas ini, bahkan jika mereka menggunakan payung pun ia dan Madoka akan tetap kebasahan.

"Mama, kita tidak bisa melihat kampusnya sekarang." Gadis mungil itu berujar sambil menyesap tetes terakhir milkshake-nya.

Madoka terkekeh pelan sebelum menyahuti, "Kalau begitu kita bersantai dulu disini, sayang."

Kedua pipi Hitoka menggembung sebal, nampak begitu menggemaskan. Ia merenggangkan kedua tangannya dan mengulas senyum lebar. "Baiklah, kalau begitu aku ingin pesan susu stroberi hangat lagi, boleh, kan?"

Terlihat oleh Hitoka sang mama sedang mengangguk, akan tetapi, sebelum gadis itu berdiri, wajah kaget ibunya membuatnya penasaran, pemikiran aneh mulai berlarian di pikirannya.

Penjahat? Perampok? Pembunuh bayaran? Mantan pacar mama?!

"Okaasan." Sekujur tubuh Hitoka menegang. Ia mengenali suara ini. Ia menoleh perlahan, menatap sosok mantan kekasihnya yang kini menatap ibunya kaget.

"Oikawa-san."

Ia tidak bisa melakukan apapun selain menutup kedua mulutnya yang nyaris terbuka lebar karena syok. Berbagai perasaan menyembur dan menyesakan dadanya. Ia begitu merindukan sosok yang duduk terpaku menatapnya, namun ia juga begitu ingin berlari menjauh dari sosok tersebut. Bahkan Hitoka telah dengan kurang ajar lupa dengan keberadaan ibunya disini.

"A-ah, su-sudah lama, ya, Oikawa-san." Seulas senyum dipaksa hadir di wajahnya. Hitoka dapat melihat dengan jelas binaran terkejut Tooru. Ia menurunkan matanya dan meremas kedua tangannya. Hitoka tidak bisa jika disuruh menatap kedua mata yang dulu selalu menatapnya penuh sayang itu lebih lama.

Dapat dilihatnya bayangan Tooru tengah mengangguk. "Begitulah," Entah kenapa suara Tooru terdengar begitu datar. Itu menyebalkan. "Senang melihatmu baik-baik saja, Hitoka."

Dadanya seolah baru saja dihantam oleh sesuatu yang keras. Tooru masih memanggilnya nama kecilnya meskipun Hitoka memanggilnya seolah mereka tidak saling mengenal akrab. Dengan cepat Hitoka mengangguk canggung.

"Uhm, ya. Kau tampak sehat, Oikawa-san." Jangan menangis, Hitoka.

Tadi Tooru bilang apa? Hitoka baik-baik saja? Baik-baik saja matamu! Ingin sekali Hitoka meneriakinya begitu, sayangnya tempat ini begitu tidak memungkinkan kalau Hitoka ingin memaki pemuda yang begitu dicintainya itu. Toh meskipun saat ini mereka memiliki ruang tersendiri untuk saling melampiaskan amarah, Hitoka tidak yakin ia bisa mengamuk pada Tooru. Ia tidak tahu bagaimana caranya marah besar pada sosok di hadapannya ini. Ketika mereka masih bersama dulu, tidak pernah terjadi di antara keduanya sebuah pertengkaran yang berarti dan bisa membuat mereka bertengkar hebat.

"Yah, begitulah." Tooru hanya mengulas senyum kecil, senyum kecil yang masih mampu membuat jantung Hitoka kembali heboh. Iris cokelat pemuda itu beralih dari Hitoka menuju langit-langit, posisi tubuh pemuda itu masih menyamping.

Ingin hati Hitoka menyuruhnya duduk di sebelahnya yang kosong, sayangnya bayangan tentang Tooru sedang menunggu kekasihnya tiba-tiba mengganggunya. Kalaupun Hitoka menyuruhnya duduk di sisi kanan Madoka, pastinya itu akan semakin membuat suasana menjadi canggung.

Tunggu, Tooru tidak pernah menunggu perempuan, bahkan saat masih bersamanya, Tooru tidak pernah datang ke lokasi kencan mereka lebih dulu. Apa Hitoka masih boleh berharap?

Avec la PluieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang