Belanja Gaun Pengantin

16 0 0
                                    

Bagian 1

Mimpi burukku berawal seperti ini. Aku sedang berdiri di jalanan sunyi di sebuah kota pantai kecil. Saat itu tepat tengah malam. Badai menerjang. Dera angin dan hujan mencabik-cabik
deret pepohonan palem sepanjang trotoar. Bagunan semen merah jambu dan kuning menjajari tepi jalan, jendela-jendelanya tertutupi papan. Satu blok di depan, melewati semak-semak kembang sepatu, lautan tampak bergulung ganas. Miami, pikirku. Meski aku tak yakin bagaimana aku bisa tahu itu. Aku tak pernah menginjakkan kakiku di Miami sebelumnya.
Kemudian aku mendengar suara derap kaki hewan menapaki jalan. Aku menoleh dan melihat temanku Max berlari terbirit-birit.Betul, aku bilang derap kaki hewan. Max adalah seorang satir. Dari pinggang ke atas, dia kelihatan seperti pemuda jangkung tipikal dengan jenggot pendek berwarna oranye muda dan mengidap jerawat parah. Dia berjalan dengan pincang, tapi kecuali kau mendapatinya sedang tak memakai celana (yang sangat tak kusarankan), kau tak akan mendapat kesan nonmanusia darinya sama sekali. Celana jins longgar dan kaki palsu menyembunyikan fakta bahwa dia memiliki bokong berbulu dan sepasang kaki berkuku belah. Max adalah sahabatku di kelas enam. Dia pernah menyertai
petualangan bersamaku, dan juga bersama dengan seorang gadis bernama Betty untuk menyelamatkan dunia, tapi aku belum bertemu dengan Max semenjak Juli lalu, saat dia memulai misi berbahayanya seorang diri-sebuah misi yang tak pernah ditempuh seorang satir dengan selamat. Omong-omong, dalam mimpiku, Max tengah menyeret ekor kambingnya, sembari menggenggam sepasang sepatu manusianya dengan kedua tangannya seperti yang biasa dia lakukan saat harus bergerak cepat. Dia berderap cepat melewati toko-toko kecil penjual cedera mata bagi wisatawan dan tempat-tempat penyewaan papan seluncur. Angin membengkokkan batang-batang pohon palem hingga nyaris mencium tanah.
Max takut akan sesuatu di belakangnya. Dia pasti baru datang dari sisi pantai. Pasir basah menutupi bulu-bulunya. Dia baru terbebas dari suatu tempat. Dia berusaha membebaskan diri dari ... sesuatu. Suara geraman yang mengerikan membelah badai. Di belakang Max, di ujung belakang blok, sesosok bayangan muncul. Ia memukul satu lampu jalan, yang menyemburkan bunga-bunga api. Max terhuyung-huyung, meringis ketakutan. Dia bergumam pada diri sendiri, Harus melarikan diri. Harus memperingatkan mereka! Aku tak bisa melihat apa yang mengejarnya, tapi aku dapat mendengar gumaman dan umpatannya. Permukaan tanah bergetar saat ia makin mendekat. Max berlari ke pojok sebuah jalan dan terhenti. Dia berlari ke pekarangan buntu yang dipenuhi toko. Tak ada waktu untuk berbalik arah. Pintu terdekat terbanting membuka oleh terpaan badai. Plang di atas jendela etalase bertulis: BUTIK PENGANTIN ST. AUGUSTINUS.
Max melesat masuk. Dia bersembunyi di balik rak penuh gaun pengantin.Bayangan monster melewati muka toko. Aku dapat menghirup baunya-kombinasi memuakkan dari bulu domba dan daging busuk dan bau tubuh masam aneh yang hanya dimiliki para monster, seperti sigung yang sehari-hari makan masakan Meksiko. Max gemetar di balik gaun-gaun pengantin. Bayangan sang monster melintas. Keheningan selain bunyi derai hujan. Max menarik napas dalam. Mungkin sosok itu telah pergi. Kemudian kilat menyambar. Seluruh muka toko meledak, disusul suara auman monster: "MILIKKU!" Aku tersentak bangun, menggigil di tempat tidurku. Tak ada badai. Tak ada monster. Cahaya matahari pagi menembus jendela kamar tidurku. Kukira aku melihat sekelebat bayangan melintas di luar jendela- bayangan seperti manusia. Namun, kemudian ada ketukan di pintu kamar tidurku-ibuku memanggil: "Pearl, kau akan terlambat"-dan sebentuk bayangan di jendela itu pun menghilang. Pasti hanya khayalanku saja. Jendela lantai lima dengan jalan keluar darurat yang sudah usang dan reyot ... tak mungkin ada orang di luar sana. "Ayolah, Sayang," panggil ibuku lagi. "Hari terakhir sekolah. Seharusnya kau gembira! Kau sudah hampir berhasil!" "Sebentar," seruku. Aku meraba ke bawah bantalku. Jemariku menggenggam erat pena yang selalu menemani tidurku. Kukeluarkan pena itu, kuamati tulisan Yunani Kuno yang terukir di sisinya: Anaklusmos. Riptide. Aku ingin melepas tutupnya, namun sesuatu menahanku. Sudah lama aku tak menggunakan Riptide ....Lagi pula, ibuku telah membuatku berjanji untuk tidak menggunakan senjata berbahaya di apartemen setelah aku mengayunkan lembing ke arah yang salah dan menghancurkan seisi rak pajangan keramik Cina miliknya. Aku menaruh Anaklusmos di meja sisi tempat tidurku dan memaksa diriku bangkit dari tempat tidur.
Aku berganti pakaian secepat yang kubisa. Aku berusaha tak memikirkan tentang mimpi burukku atau monster atau bayangan di jendelaku. Harus melarikan diri. Harus memperingatkan mereka! Apa yang Max maksudkan? Aku membuat gerakan cakar tiga-jari di atas jantungku dan mendorong ke depan-isyarat purbakala yang pernah diajarkan Max padaku untuk menangkal bala. Mimpi itu tak mungkin nyata. Hari terakhir sekolah. Ibuku benar, seharusnya aku gembira. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku hampir melewati setahun penuh tanpa dikeluarkan. Tak ada kecelakaan aneh. Tak ada perkelahian di kelas. Tak ada guru yang berubah jadi monster dan mencoba membunuhku dengan makanan
kafetaria beracun atau tugas rumah yang meledak. Besok, aku akan menempuh perjalanan menuju tempat yang paling kusukai di seluruh dunia-Perkemahan Blasteran. Tinggal sehari lagi. Sudah pasti bahkan aku sendiri tak akan mengacaukannya. Seperti biasa, aku tak menyadari betapa salahnya aku. Ibuku menyiapkan wafel biru dan telur biru untuk sarapan. Kebiasaannya memang lucu, merayakan momen istimewa dengan makanan serbabiru. Kurasa
itu caranya mengungkapkan bahwa tak ada yang tak mungkin. Pearl bisa lulus dari kelas tujuh. Wafel bisa berwarna biru. Berbagai keajaiban kecil seperti itu.Aku menyantap sarapanku di meja dapur sementara ibuku mencuci piring. Dia mengenakan seragam kerjanya-rok biru berbintang-bintang dan blus bergaris merah-putih yang dia kenakan untuk menjual permen di toko Sweet on America. Rambut cokelat panjangnya diikat kuncir kuda.
Wafelnya sungguh lezat, tapi kurasa aku tak melahapnya seperti biasa. Ibu menatapku dan mengerutkan alisnya. "Pearl, apa kau baik-baik saja?" "Yeah ... tentu." Tapi Ibu selalu tahu ketika ada sesuatu yang menggangguku. Dia segera mengeringkan tangannya dan duduk di depanku. "Sekolah atau ... " Dia tak perlu menyelesaikan ucapannya. Aku sudah tahu maksud pertanyaannya. "Aku merasa Max sedang dalam masalah," ucapku, dan aku
memberitahunya tentang mimpiku. Ibu mengerucutkan bibirnya. Kami tak berbicara banyak tentang bagian hidupku yang lain. Kami berusaha menjalani hidup senormal mungkin, tapi ibuku tahu segalanya tentang Max."Aku tak akan terlalu mencemaskannya, Sayang," kata Ibu. "Max adalah seorang satir yang besar sekarang. Jika ada masalah, aku yakin kita pasti akan mendengarnya dari ... dari perkemahan .... " Bahu Ibu menegang saat dia mengucapkan kata perkemahan. "Ada apa?" tanyaku. "Tak ada apa-apa," ucap Ibu. "Begini saja. Sore ini kita akan merayakan hari terakhir sekolah. Ibu akan mengantarmu dan Tyson ke Rockefeller Center-ke toko skateboard yang kau senangi." Oh, ya ampun, itu akan asyik sekali. Kami selalu menghemat uang. Di antara kelas-kelas malam ibuku dan biaya sekolah swastaku, kami tak pernah mampu untuk melakukan hal-hal istimewa seperti membeli skateboard. Tapi nada suaranya mengusikku."Tunggu dulu," seruku. "Kupikir kita akan berkemas untuk menyiapkan diriku berangkat ke perkemahan malam ini." Ibu memuntir lap piringnya. "Ah, Sayang, tentang itu ... Ibu mendapat pesan dari Chiron semalam." Semangatku menciut. Chiron adalah penanggung jawab kegiatan di Perkemahan Blasteran. Dia tak akan menghubungi kami kecuali ada sesuatu yang serius terjadi. "Apa yang dikatakannya?""Menurutnya ... mungkin belum aman untukmu datang ke perkemahan saat ini. Kita mungkin harus menundanya?" "Menunda? Ibu, bagaimana mungkin perkemahan itu bisa tidak aman? Aku adalah blasteran! Justru perkemahan itu satu-satunya tempat teraman di muka bumi ini untukku!" "Biasanya memang begitu, Sayang. Tapi dengan masalah yang sedang mereka alami-""Masalah apa?" "Pearl ... Ibu benar-benar minta maaf. Ibu berencana memomongin ini denganmu sore entar. Ibu tak bisa menjelaskannya semua sekarang. Ibu bahkan tak yakin Chiron pun bisa. Semuanya terjadi secara tiba-tiba." Pikiranku berputar-putar. Bagaimana mungkin aku tak pergi ke perkemahan? Aku sudah berencana mengajukan jutaan pertanyaan, tapi tepat saat itu jam dinding dapur berdentang menunjukkan telah lewat setengah jam. Ibuku nyaris tampak lega. "Tujuh tiga puluh, sayang. Kau sudah harus berangkat. Tyson akan menunggu." "Tapi-" "Pearl, kita akan omongin ini entar sore. Berangkatlah ke sekolah." Itu adalah hal terakhir yang ingin kulakukan, tapi sorot mata ibuku tampak begitu mengibas-semacam peringatan, seolah jika aku terlalu mendesaknya dia akan mulai menangis. Lagi pula, Ibu memang benar tentang temanku Tyson. Aku harus segera menemuinya di stasiun kereta bawah tanah tepat waktu. Jika tidak, dia akan kebingungan dia takut menempuh perjalanan bawah tanah sendirian. Aku membenahi barang-barangku, tapi berhenti di ambang pintu. "Bu, masalah di perkemahan ini. Apakah ... mungkinkah itu ada hubungannya dengan mimpiku tentang Max?" Ibu menghindari tatapan mataku. "Kita akan omongin ini entar sore, Sayang. Ibu akan jelaskan ... sebanyak yang Ibu bisa."

bersambung...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 29, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hantu Siluman RambutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang