Marriage 6

255 41 11
                                    

Keito melirik sedikit ke arah Yuto yang sedang fokus menyetir di sebelahnya. Diam-diam ia tersenyum-senyum sendiri sambil sibuk meyakinkan diri bahwa ini bukanlah mimpi. Pasalnya ini merupakan pertama kalinya dirinya dan suaminya itu pergi ke suatu tempat, hanya berdua saja di dalam mobil. Jadi sebisa mungkin ia berusaha menyimpan kepingan kenangan ini detik demi detik dalam kepalanya.

Ia terkejut mendengar suara Yuto yang tiba-tiba berdehem.

"Dengar. Jangan berpikir yang macam-macam. Aku membawamu turut pergi karena aku tidak bisa mengangkat sendiri kayu-kayu itu ke dalam mobil."

Bibir Keito merengut.

Benar. Mau tak mau ia harus menelan kenyataan pahit. Tadi mereka pergi ke tempat penjual kayu dan membeli beberapa potongan kayu. Yuto dan divisi yang menjadi tanggung jawabnya sedang mengerjakan proyek kecil yang berhubungan dengan kayu-kayu itu.

Ah sudahlah. Keito tidak ingin memikirkan urusan pekerjaan saat ini. Ini kan hari libur. Ia lebih ingin menikmati kebersamaan dengan suaminya tersebut sebisa mungkin.

Mereka sampai di sebuah supermarket yang tak jauh dari destinasi mereka sebelumnya. Sebelumnya Yuto telah berjanji akan membawa Keito ke suatu tempat jika Keito memang menurut padanya ke tempat tukang kayu tadi, so here they are.

Keito fokus mencari jenis sayur mayur dan memasukkan beberapa ke dalam troli sementara Yuto hanya berjalan-jalan di sekitaran minuman dingin dan memilih beberapa merk yogurt dan susu. Ketika hendak memasukkannya ke dalam troli, mendadak ekor matanya menangka' sesosok gadis cantik bertubuh mungil yang berdiri beberapa meter saja dari mereka.

"Yuri", tegur Yuto dengan riang.

Keito segera memandang ke apa yang ia lihat. Memang di depannya saat ini, tengah berdiri Yuri yang saat ini membalas senyuman Yuto.

Di dalam hati, Keito agak kecewa dengan kehadiran gadis itu.

Keito hanya menyeruput esspreso miliknya sambil melirik-lirik sebentar ke arah mereka berdua yang asyik berbincang. Sesekali ia juga melihat kedua orang di depannya itu saling berkontak fisik seperti bergenggam tangan, memukul bercanda, hingga tangan Yuto yang merangkul bahu gadis itu.

Huh, tidakkah mereka sadar bahwa masih ada aku yang duduk di depan mereka saat ini??

Tiba-tiba Yuto seolah mendapatkan panggilan alam. Ia langsung beringsut menuju toilet dan hanya meninggalkannya berdua saja dengan Yuri dalam keheningan saat ini.

Suasana sangat canggung selama beberapa menit.

"Omong-omong kita sudah lama tidak bertemu ya, kak?", tanya Yuri memecah keheningan.

"U..un."

"Wah.. kira-kira sudah berapa la ya tidak bertemu? Sebulan yang lalukah?"

"Entahlah aku tidak ingat", jawab Keito sambil menyeruput esspreso miliknya kembali.

"Hmmm.. kok kakak bisa barengan sih sama Yuto?", tanya Yuri tiba-tiba membuat Keito hampir menyemburkan apa yang diminumnya.

Ia buru-buru mengelap bibirnya dengan sehelai tisu.

"Ya..yah aku diminta olehnya untuk menggotong kayu ke mobil. Dia punya proyek di kerjaannya jadi yah begitulah..", jawab Keito seadanya. Tapi memang benar, kan?

"Oh begitu.."

Suasana tiba-tiba hening selama beberapa detik.

"Isteri yang baik."

Eh??

"A..apa? Siapa?", tanya Keito gugup.

"Kakak. Kakak adalah isteri yang baik", jawab Yuri tersenyum penuh arti.

"Apa sih?? Kenapa tiba-tiba bicara begitu? Aku tidak mengerti maksudmu."

"Kau tidak usah mengelak", ucap Yuri dingin sambil melemparkan sesuatu kepada dirinya.

Pria berwajah manis itu membelalakkan mata saat melihat beberapa foto dirinya yang terlihat dekat dengan Yuto. Ada juga foto saat kedua mertuanya berkunjung beberapa waktu yang lalu ke rumahnya.

Keito pun kemudian membenarkan cara duduknya dan membalas tatapan Yuri tak kalah dingin.

"So?"

Kening Yuri otomatis berkerut.

"Ya sadarilah posisimu. Yuto tidak terlihat mencintaimu dilihat dari posisi manapun."

"What? Kaulah yang seharusnya sadar diri. Kau sudah tahu bahwa kami telah menikah. Berani sekali kau tak tahu malu datang ke kehidupan kami."

Yuri tertawa, "kami sudah saling mengenal bahkan sebelum kalian menikah. Kami sudah dekat semenjak itu. Aku sangat tidak percaya bahwa Yuto menikah dengan seorang lelaki sepertimu. Enak saja. Aku tidak akan mengalah padamu."

"Hei, seharusnya aku yang bilang begitu."

"Kau lelaki."

"Ya, terus?"

"Mana mau aku kalah dengan lelaki sepertimu. Ingat ya, ini pernyataan perang."

"Hah, sudah pasti kau yang akan kalah."

"Oh ya? Percaya diri sekali. Mari kita lihat apakah kau bisa menaklukkan Yuto dengan sekali jentik jari. Yah, berusalah. Lagipula selama ini aku tidak pernah berhenti dipuja-puja oleh semua lelaki yang menyukaiku."

Ya ampun pede banget.

Keito tersenyum.

"Baiklah. Mari kita lihat siapa yang akan tertawa di akhir", ucap Keito dan selanjutnya mereka saling menatap dingin satu sama lain.

Tak lama Yuto pun kembali duduk ke meja dan Keito segera menyeruput habis minumnya dengan bersungut-sungut.

Yuto dan Keito sudah sampai di rumah mereka dengan selamat. Mereka hanya menggotong potongan-potongan kayu ke gudang lalu segera masuk ke dalam rumah.

Yuto heran mengapa Keito tiba-tiba mengambil air es dari dalam kulkas dan meminumnya teguk demi teguk dengan sangat bersemangat.

"Hei, pelan-pelan. Pokoknya kalau airnya tumpah, kau yang mengepel", ujar Yuto.

Keito menghentikan aksi minumnya dan menatap Yuto.

Ini semua gara-gara kau.

"Tenang saja. Semua pekerjaan rumah kan memang selalu aku yang mengerjakan", ucap Keito yang kemudian berlalu.

Yuto hanya memandang punggung yang menghilang itu sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.

Benar juga sih kalau dipikir. Ia kalau di rumah hanya mengerjakan kerjaan kantor saja dan tidak melakukan apapun.

Ah ada apa denganku. Mana mungkin aku mencemaskan orang jelek itu kan?

Bersambung...

We're Married, right?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang