The Scar | 19

67.7K 5.9K 418
                                    

"BAYU nggak merasa udah daftar dan ikut tes ini di mana-mana. Kenapa ada nama Bayu di sini?"

"Kepala sekolah yang mendukung nama kamu ada di daftar itu. Dari nilai-nilai kamu, Ibu pikir nggak ada yang meragukan otak kamu selama ini, meskipun kamu nggak jadi tim olimpiade apapun di sekolah."

"Ini masih belum masuk akal. Nggak mungkin mereka percaya begitu aja tanpa test."

"Apalah arti sebuah test, kalau otak kamu udah cerdas dari janin."

"Tapi... orang-orang itu nggak kenal sama Bayu."

"Siapa bilang? Gimana kalau ternyata para pemberi beasiswa itu salah satu dari guru kamu di sekolah?"

"Pokoknya Bayu-"

"Ibu nggak mau berdebat masalah ini ya Bayu. Ibu pengin kamu ambil kesempatan emas ini."

"Bayu pikir-pikir dulu."

Pikiran Bayu terpecah ketika amplop yang sejak tadi digenggamnya tertarik paksa. Tanpa harus membuka mata ia tahu siapa pelakunya.

"Jadi rumor ini benar?" tanya Sara. "Aisya Syakila... itu teman kelas gue, terus dia bilang kalau nama lo ada. Nggak heran juga sih, karena otak lo emang bermanfaat buat negeri ini. Dan gue yakin kalau orang-orang di sana pun bakal bangga sama lo."

Bayu mendengkus, membuka mata lalu melirik Sara malas. Cewek itu terlihat serius membaca lembaran pertama dari tiga lembaran yang diberikan untuknya.

"Ini lumayan lho, Bay. Semester dua nanti lo udah sekolah di sana... itu artinya tinggal dua bulan lagi." Sara berpaling, sedikit terkejut ketika tahu Bayu sedang memperhatikannya, tidak lagi menutup mata. "Gue kira lo molor."

"Gue nggak pernah tidur kalau ada lo." Bayu menarik kertas miliknya. "Kenapa juga gue harus ambil? Gue masih tetap pintar kalo tamatnya di sini."

Sara tertegun mendengar suara lembut Bayu, tidak kasar seperti biasanya. Ia tahu cowok itu pasti sedang memikirkan semuanya. Kendatipun terlihat cuek, Sara tahu otak Bayu tidak pernah berhenti bekerja. "Lo tahu, kan, kalau banyak mikir itu buat orang nggak bahagia," ujar Sara. "Banyu udah tahu ini?"

Bayu menggeleng. "Buat apa cerita. Gue juga belum tentu mau ngambil ini."

"Ini kesempatan besar banget Bayu. Hanya orang-orang terpilih yang dapat, gue aja pengin banget."

"Kalo gitu lo aja yang pergi." Suara Bayu kambali terdengar sinis.

Sara terdiam. Tubuhnya bersandar pada dinding, sambil menatap rak-rak buku di depannya. Ia tidak tahu sejak kapan tempat ini menjadi salah satu favoritnya. "Gue nggak pernah tahu kalau jadi orang pintar tuh anugerah banget. Banyak hal hebat yang bisa gue dapat. Salah satunya beasiswa itu tanpa lo harus usaha kiri kanan, orang yang nawarin hal hebat itu untuk lo. Teman-teman gue aja sampai mati-matian buat ikutan kelas privat buat ngedapatin kertas-kertas itu."

"Nggak selamanya kecerdasan buat lo bahagia." Bayu terdiam sesaat, lalu mengembuskan napas. "Gue pintar tapi nggak bisa buat orang tua gue bangga."

Normalnya. Bayu akan pulang membawa kertas itu dengan bangga saat menunjukan ke orang tuanya. Menerima pelukan hangat, bahkan ibunya akan menangis tersedu-sedu karena akan segera berpisah dengan si buah hati ke tempat yang jauh dengan waktu yang cukup lama. Tapi bagi Bayu semua itu hanya drama keluarga yang dibuat oleh otak bodohnya.

"Di sana lo nggak bakal ketemu sama mereka. Nggak ada yang buat lo benci sama diri lo. Dan...." Sara melirik lengan Bayu yang kini sudah tampak jelas tanpa kain jaket. "Dunia kesehatan di sana luar biasa, kan? Lo bisa nyembuhin luka-luka lo itu... ya you know what I mean."

THE SCAR ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang