Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, Davo akan melangsungkan pernikahan tepat sebulan setelah acara lamaran kemarin. Memang aneh. Padahal belum resmi melamar. Tapi, dua keluarga besar sudah berbondong menentukan tanggal.
Aku membuka mataku. Sesekali mengerjap untuk memfokuskan pandangan. Kepalaku terasa berat. Kulirik jam dinding didalam kamar. Seketika mataku melebar. Sudah jam 12 siang dan tidak ada yang membangunkanku sama sekali. Kemarin rasanya seluruh tubuhku lelah. Usai lamaran Davo. Aku bergegas ke kamar dan tanpa babibu kubaringkan tubuhku diatas kasur. Entah itu pukul berapa aku jatuh tertidur.
Sebelum hari lamaran Davo, malamnya aku sama sekali tidak bisa tidur. Kejadian didalam mall terus berputar dibenakku. Sosok Elang lagi-lagi menghantui pikiranku. Baru memikirkan namanya saja membuatku mendesah pelan. Meski sudah jauh lebih baik dari kemarin. Tetap masih kurasakan percikan perasaan sisa-sisa kemarin.
Aku menjatuhkan tubuhku lagi diatas kasur dan membenamkan wajah dibalik bantal. Kenapa reaksiku harus seperti ini?
Bimbang.
Berkali-kali aku mencoba memusnahkan segala tentang Elang dalam hidupku. Berkali-kali pula aku telah meyakinkan diri untuk tidak melihat ke belakang. Kenapa rasanya sulit sekali? Seolah ada penghalang besar dan kokoh yang menghalangi segala keinginan hatiku. Sebenarnya apa yang aku inginkan?
Menginginkan Elang kembali? Rasanya sangat tidak mungkin.
Berharap aku tidak pernah bertemu Elang di Groovey café pada waktu itu? Sayangnya hal itu sudah menjadi garis hidup antara aku dan Elang yang ditentukan oleh Tuhan.
Berharap kalau ini semua hanya mimpi? I wish.
Dengan segala perasaan yang pernah ada. Masa-masa yang telah berlalu. Hanya berdua. Kenangan yang tercipta waktu dulu. Jika aku bisa memilih. Ingin sekali aku tidak pernah mengenal sosok Elang apalagi mencintainya.
Demi mengingat segala yang pernah terjadi membuat satu lagi goresan perih pada ulu hatiku. Membuatku tanpa sadar meringis pelan. Perasaan terluka yang timbul waktu bertemu dengannya kemarin membangkitkan kembali perasaan yang pernah ada waktu itu. Sungguh hal itu merupakan permintaan terakhir yang akan kuminta dengan sangat terpaksa dalam hidupku jika tidak ada lagi pilihan yang terpapar.
Aku menelentangkan tubuhku, menyingkirkan bantal yang semula menutupi wajah agar dapat melihat langit-langit kamar. Hanya suara napasku yang terdengar memenuhi isi kamar.
Sejak kemarin dadaku terasa sesak hingga tidak bisa berbicara dengan benar. Sampai harus beberapa kali orang mengajakku berbicara agar aku ngeh. Anehnya, aku tidak menangis. Padahal itu hal pertama yang ingin aku lakukan. Menangis sepuasnya. Melepaskan perasaan sesak didada.
Aku ingin hati yang berbunga. Pandangan yang fokus. Serta otak yang beristirahat walau hanya sejenak. Tapi, yang terjadi justru sebaliknya. Hatiku hampa. Pandanganku kosong. Tapi, otakku bekerja terus menerus. Itu jauh lebih buruk daripada menangis semalaman sampai mata bengkak.
Dengan langkah gontai setelah menyibak selimut yang menutupi tubuh. Aku berjalan kedalam kamar mandi dan membasahi tubuhku dengan air hangat. Sekejap perasaan nyaman timbul dari sentuhan air hangat yang membelai kulit.
Ketukan pintu membuat aku menghentikan aktivitas mengeringkan rambut. Diluar, Davo berdiri sambil membawa nampan berisi satu piring spagetti dan jus mangga. Aku menerima nampan tersebut tanpa mengatakan apapun. Sebelum aku menutup pintu, suara Davo menanggalkan niatku.
"Diabisin ya," ujar Davo. "Jangan sampe nggak."
Aku menatap Davo sejenak dan mengangguk. Kututup pintu kamarku lagi tanpa bersuara. Dari dalam kamar terdengar suara langkah Davo yang menjauh. Kuhela napas panjang dan menatap nampan yang tengah aku pegang.