Black Sugar - [22]

8K 1K 82
                                    

Untuk memastikan pengetahuanku. Didalam mobil aku mencari tahu soal ahli onkologi. Rasa khawatirku kian mencuat ketika semua yang kutahu benar. Dalam pencarianku, disebut ahli onkologi merupakan ahli dalam bidang kanker.

Pertanyaannya sekarang ialah untuk apa Elang dan Mbak Naya mendatangi ahli onkologi? Aku tidak ingin berspekulasi lebih lanjut. Membuang jauh segala pikiran negative yang merasuk tubuh serta bersusah payah untuk berpikir positif. Semoga saja tidak terjadi apa-apa. Semoga saja hanya pemeriksaan belaka. Bunyi ponselku membuyarkan lamunanku. Davo.

"Tunggu depan lobby, gue kesana." Aku menghembuskan napas kesal. Daritadi ditunggu kemana saja?

Davo dan kak Rara menunggu tepat didepan lobby. Aku langsung turun dari mobil dan mempersilahkan Davo untuk menyetir. Sementara aku sendiri pindah di jok belakang. Pikiranku kembali menerawang. Sampai tidak sadar beberapa kali kak Rara memanggilku.

"Cha?"

Lamunanku buyar sekejap. "Hah? Kenapa, Kak?"

"Kamu mau makan apa? Belom makan, kan?"

"Terserah aja." Aku tidak mood untuk memikirkan hal lain. Nafsu makanpun tiba-tiba menghilang.

"Kenapa sih diem aja?" Davo yang menyadari sedari tadi aku hanya diam saja akhirnya bertanya setelah menyerahkan buku menu pada pelayan yang menghampiri kami bertiga. Aku tidak menjawab karena harus mendengar pelayan mengulang pesanan.

Ketika pelayan itu sudah pergi. Davo kembali bertanya. "Lo serius nggak mau makanan berat?"

"Nggak nafsu. Kelamaan nunggu lo, lumutan." Gumamku asal.

"Maaf ya, Cha. Tadi emang nunggu dokternya lama."

Merasa tidak enak dengan kak Rara yang ikut tersindir dengan gumamanku. Aku meringis pelan.

"Iya, Kak." Jawabku singkat. Kembali tenggelam dalam lamunan.

"Ni anak, ngelamun mulu. Kesambet arwah gentayangan di rumah sakit ntar."

Aku tertawa hambar. "Ha ha, gak lucu."

"By the way, Cha," suara Davo berubah lebih serius. "Tadi gue liat dia."

"Dia?" Aku mengerutkan keningku.

"Elang." Seakan hati-hati sekali ketika Davo menyebut namanya.

"Iya, gue juga."

Davo terdiam sejenak. Melihat percakapanaku berdua lebih serius dari tadi, kak Rara memilih diam mendengarkan. Tidak ingin masuk kedalam percakapan.

"Pantesan," gumam Davo. "Gue juga liat dia sama Naya."

"Lo liat dimana?"

"Waktu gue selesai medical check up. Di lantai 2. Mungkin mereka check up soal keguguran Naya." Tebak Davo.

"Bukan," aku menarik napas cukup lama. "Mereka dateng ke ahli onkologi."

"Onkologi?" Kening Davo berkerut.

"Ahli onkologi?" kak Rara yang sedari diam ikut menyahut kali ini. "Itu bukannya ahli bidang—"

"Kanker." Sebelum kak Rara menyelesaikan kalimatnya, aku lebih dulu menyahut.

"Bener, kanker." Gumam kak Rara.

Sesaat keheningan menyelimuti kami bertiga. Tidak ada yang berbicara. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Davo meletakkan kedua tangannya diatas meja.

"Kita nggak bisa narik kesimpulan dari sana aja." Ucapnya.

Aku mengangguk pelan. "Semoga aja nggak kenapa-kenapa."

Black Sugar [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang