Nasi sudah menjadi bubur.
Aku sudah terlanjur melepas Elang. Merelakan Elang bersama kehidupannya yang baru. Sudah cukup soal Elang masuk dalam kehidupanku. Tak mau larut dalam kegamangan. Aku mencoba merefleksikan diri dengan melakukan hal-hal lebih berguna. Aku lebih aktif menulis dari biasanya. Lebih sering berada di café-café atau kedai Pak Kamal untuk sekedar nongkrong atau menulis. Aku juga jadi lebih sering bersosialisasi dengan orang-orang sekitar. Termasuk sesekali mampir kerumah Davo dan kak Rara untuk sekedar masak bersama atau cerita-cerita. Ajaibnya, hal itu seakan tidak sia-sia kulakukan.
Hatiku lepas. Tidak ada lagi beban berat yang selama ini merasa memberatkan seluruh pergerakan tubuhku termasuk otak. Aku melakukan apapun tanpa dibayang-bayangi oleh sosok Elang. Yah, meski satu dua kali bayangannya muncul. Tapi, masih dapat kunetralisir. Aku juga tidak terlalu ambil pusing.
Terlalu cepat? Sama sekali tidak. Saat ini aku telah memasuki fase dimana aku sudah muak dengan lika-liku perasaanku. Aku muak dengan segala penyesalan yang selalu kudapat setelah mengambil keputusan. Kali ini, aku tidak ingin rasa penyesalan kembali hadir. Aku ingin hidupku seperti air. Mengalir begitu saja. Dan aku ingin menikmatinya. Tidak harus pusing memikirkan ini jalan yang benar atau salah. Aku tidak peduli. Aku hanya ingin menikmati.
"Cha, lusa temenin aku ke ulang tahun anaknya temenku mau nggak? Davo nggak bisa soalnya nih." Kak Rara muncul dari arah dapur. Kedua tangannya membawa satu loyang penuh berisi lasagna yang beberapa saat lalu kami buat.
Memang semenjak menikah, mereka berdua memutuskan tinggal di rumah sendiri. Rumah hasil tabungan Davo dari jaman SD. Dari kecil kami berdua memang sudah diajarkan menabung untuk masa depan. Yah, mungkin tabungan yang terkumpul tidak seberapa. Lebih banyak uang yang dikeluarkan Davo untuk membeli rumah dari hasil kerja kerasnya bantu-bantu di kantor Papa. Dia juga punya bisnis kecil-kecilan bersama satu rekannya waktu kuliah. Membuka salon mobil dan lain-lain.
Aku yang sedang duduk-duduk di sofa depan tv sambil memakan keripik kentang menoleh.
"Lusa ya? Kayanya bisa. Aku kosong."
"Sip deh. Nanti aku ke rumah jemput kamu."
"Jam berapa sih acaranya?"
"Hmm... Kurang tau juga sih tepatnya. Nanti aku kabarin." Aku mengangguk. "Enak nih kayanya lasagna kita."
Kepalaku melongok menatap lasagna yang sudah ditaruh diatas meja makan. Kemudian bangkit dari sofa dan berjalan menuju meja makan. Kak Rara langsung memberikan seperangkat piring beserta sendok dan pisau untuk mengambil bagian dari lasagna tersebut.
"Iya, enak. Kalo gitu, Davo jangan di bagi." Ceplosku.
Kak Rara terkekeh pelan. "Kenapa emang?"
"Dia udah mulai gembrot. Jangan deh. Lagian, Davo tu makannya harus yang bener. Kak Rara juga. Pola makan harus dijaga. Biar cepet isi. Terus aku punya mainan deh."
"Yeee, kamu, ada-ada aja. Yaudah, makan gih. Aku mau lanjutin masak buat makan malem. Kasian pasti Davo capek kan pulang kerja."
"Tau deh yang sekarang udah jadi suami istri!" gurauku sambil memotong bagian lasagna yang kumau.
"Makanya, buruan sana cari calon biar cepet-cepet punya mainan sendiri." Balas kak Rara. Langkahnya menjauhi meja makan. Meski begitu, suaranya masih jelas kudengar.
Aku hanya menggeleng pelan sambil tersenyum geli mendengar jawaban kak Rara dan kembali sibuk memakan lasagna. Senyumku terhenti saat ponsel bergetar. Galan.
"Kamu dimana?" tanyanya dari sebrang sana.
"Di rumah Davo. Kenapa?"
"Bawa mobil?"