Lelaki itu menarik koper mungilnya menuju antrian sebuah maskapai penerbangan Nasional yang tidak terlalu panjang. Satu tangannya yang lain menarik selembar kertas dari saku mantel cokelat tua yang tampak sudah dimakan usia, warna agak pudar dan sebuah jahit tambalan di siku kiri. Cuaca Jakarta yang diguyur hujan sejak subuh tadi masih menyisakan dingin hingga pukul sepuluh pagi ini. Dia mengamati kertas tiket dengan seksama. Jadwal penerbangannya satu setengah jam lagi. Masih ada waktu untuk mengabari Nana, pikirnya.
Antrian bergerak maju perlahan dan tidak sampai lima menit tiba gilirannya. Prosedur pemeriksaan tiket dan paspor berlangsung cepat dan lelaki itu tersenyum ramah ketika petugas mengembalikan semua berkas miliknya. Dia berjalan cepat ke arah timur dan menaiki eskalator menuju ruang tunggu, melintasi gerai-gerai pertokoan yang baru dibuka, melewati orang-orang yang juga berjalan dengan tujuan sama.
Usianya baru dua puluh delapan tahun dan dia sudah mengambil keputusan penting dalam hidup untuk melakukan perjalanan menantang yang akan mendapat tentangan dari semua pihak dan pasti dikomentari "dasar sakit jiwa!" oleh sahabatnya.
Dia duduk di kursi tunggu, menggeser koper di samping kakinya. Diambilnya ponsel di saku dan mencari sebuah nama di layar phonebook. Suara nada tunggu terdengar tiga kali.
"Ya, Leo?" Suara perempuan yang bersemangat terdengar di ujung sana, dilatarbelakangi dentingan mesin dan pekikan udara seperti suara lokomotif kereta api.
Pasti microwave dan panci presto, batin lelaki itu dengan senyum tersungging. "Hai, Nana. Tebak aku di mana?"
Perempuan di telepon itu berdecak gemas. "Leo, kamu tahu hari jum'at adalah hari paling sibuk sedunia versi Rhea Catering. Besok ada tiga pesanan katering untuk pernikahan, aku sedang masak, telepon kesana kemari karena kekurangan waiter, dan kamu tiba-tiba menelepon hanya untuk main tebak-tebakan. Sepagi ini?!"
Tawa Leo pecah. Ocehan berentet ini yang mungkin nanti akan dia rindukan. "Sorry... sorry.. Lima menit, Nana. Aku ingin ngobrol sebentar saja."
Leo mendengar Nana memberi intruksi ini itu pada karyawananya dan suara gaduh pun berangsur lenyap. Dia bisa membayangkan gadis itu mengenakan kaos dan celana jeans belel yang sudah pudar warnanya, rambut panjang diikat cepol di atas kepala, memakai celemek warna warni dan bandana oranye favoritnya, serta titik-titik peluh yang mulai muncul di dahi atau mengalir di pipi.
"Ada apa?" tanya Nana.
"Aku sedang di bandara."
"Mau menawarkan oleh-oleh yang aku inginkan?"
Leo bergumam sebentar. "Aku tebak oleh-oleh yang kamu inginkan kali ini adalah diriku sendiri."
"Cih!"
"Hahaha... Aku mau menghilang."
Nana mendesah. "Leo, sekarang bukan saat yang tepat untuk membicarakan hal itu. Kamu mau ke mana? Kirimi aku kartu pos dari sana dan aku minta oleh-oleh... hmm... camilan khas di sana, kalau bisa. Cowok tampan juga boleh. Kamu tahu tipe cowok yang aku mau seperti apa."
Leo tertawa lagi. Gadis ini selalu ceplas ceplos kalau bicara, seolah tanpa rem. "Aku mau pergi jauh, Nana. Ke luar negeri, mungkin beberapa tahun, atau kalau aku betah selamanya."
"Why?"
"Mencari kehidupan baru."
"Carilah di Merkurius. Aku pernah menyarankan itu, bukan? Bulan dan Mars sudah dijajah Amerika."
Komentar sinis itu membuat Leo nyengir. "Ini telepon terakhirku."
"Taruhan, selama tidak dimakan hiu atau terkena bom di Afghanistan, kamu akan menghubungiku lagi. Ini sudah kesekian kali kamu bilang akan menghilang dan tidak akan menghubungiku, tapi hanya bertahan paling lama tiga bulan."
Nana benar, Leo mengakui. "Kamu tidak bisa menghubungiku nanti."
"So?"
"Nana, aku masih akan mengawasi untuk tahu kabarmu."
"I'm watching you!" suara Nana menirukan tentara KGB.
"Dah, Nana..."
"Dah, Leo... Take care ya! Ini sudah lebih dari lima menit."
"Oke...oke..." Leo tertawa dan menyentuh layar off.
Dia menatap ponselnya lama, layar wallpaper yang berupa foto dirinya dan Nana bertahun lalu ada di sana. Baru semalam dia menggantinya, entah mengapa. Gadis itu orang pertama dan terakhir yang dia hubungi sebelum kepergiannya kali ini, selain keluarga.
Hidup baru, tanpa seorang pun yang mengenal dan dikenalnya tahu.
Suara panggilan pesawat dan kode penerbangan yang akan Leo tumpangi terdengar. Dia berdiri dan bergegas menarik kopernya.
Puluhan kilometer dari bandara Soekarno-Hatta, di sebuah rumah sederhana yang nyaris seluruh ruangannya disulap menjadi dapur, Nana sudah kembali berkutat mengaduk kaldu ayam dalam panci besar di hadapannya.
"Dasar cowok aneh... obsesi dari dulu kok menghilang," gumam Nana pelan. Meski dalam hati, dia mendapat firasat yang meresahkan. "Dasar sakit jiwa!"
...to be contiued (kalau mood)
YOU ARE READING
Saat Kamu Hilang dari Semestaku
RomanceBagi Leo, hilang adalah obsesinya dalam hidup. Bagi Cygna, kehilangan adalah proses dalam kehidupannya.