Dua

13 0 0
                                    

“Tuan Puteri! Tunggu hamba!”

Tak kuhiraukan teriakan Wilea dari belakang. Tetap saja kujinjing ujung gaunku dan berlari riang menelusuri ramainya pasar di pagi hari. Suaranya yang tetap saja bergema di telingaku membikin aku semakin lincah menyelinapkan diri diantara jubelan rakyatku. Beberapa dari mereka ada yang terhenti untuk sekadar tersenyum dan menyapa, namun ada juga yang hanya menatapku heran karena Wilea berjalan tergopoh di belakangku.

Lariku berubah menjadi jalan. Jalan kecil disertai telengan kepala kemana-mana karena menganggap suasana pasar dengan rikuknya jual-beli lebih ramai daripada istana. Terlebih aku ini anak tunggal. Kadang aku merasa kehadiran Milesa, anak perempuan Wilea, merupakan oaseku di tengah gurunnya prajurit pintu. Langkahku semakin tersaruk ketika memandangi lapak sayur dan buah-buahan. Buah-buah itu nampak berkilau diterpa sinar pagi.

Kutengok ke belakang, lalu mendapati Wilea yang baru saja sampai dengan badan terbungkuk-bungkuk sambil mengatur ritme nafasnya. Tawaku bergemerincing dan menunggunya menegak.

“Cepat sekali engkau berlari, Tuan Puteri.” kata Wilea disela sengal nafasnya.

“Ah. Kau pun dulu pasti juara lari, Wilea.” sahutku. “Sungguh hebat perempuan seusia kau sanggup mengimbangi langkahku.”

Seulas senyum merekah di garis wajah tuanya. “Hamba sudah terbiasa dengan perilaku Puteri yang seperti ini. Karena itu, hamba pun lari keliling istana setiap pagi.”

“Kau berlebihan, Wilea.”

“Tak ada yang berlebihan untukmu Puteri Bintang.”

Aku tersenyum maklum menanggapinya. Walau sebenarnya aku tak terlalu suka diperlakukan layaknya puteri raja seperti ini, mau tak mau aku harus melakonkannya. Garis takdirku sudah melintang di telapak tangan, tak bisa diubah. Maka kutunjuk tempat sayur yang menarik perhatianku tadi, menunjukkannya pada Wilea. Aku pun tahu, pasti sangat mengherankan untuknya karena aku benci sayur-mayur.

Namun Wilea mengangguk patuh dan mengikutiku menuju tempat pria tua dalam setelan lusuhnya. Geraknya masih gesit melayani pembeli di usianya yang kuperkirakan lebih tua dari Wilea.

“Ada gerangan apa Tuan Puteri mau sarapan sayur?” tanya Wilea disampingku.

Aku yang tengah menyentuh-nyentuh mangga, langsung menoleh ke arahnya. Haruskah kukatakan bahwa aku tertarik kemari karena buah-buah ini begitu berkilau dan nampak manis? Dan bukannya karena sayuran? Tapi kurasa hal ini tak perlu diluruskan. Maka kujawab ia sekenanya. “Aku selalu penasaran bagaimana engkau memilih sayuran yang segar dan lezat untuk dimasak para juru masak kerajaan, Wilea.” kataku. “Terima kasih karena sudah memperbolehkanku mengekorimu kemari.”

Wilea menatapku ramah, dengan pandangan teduhnya. “Apapun, Puteri. Apapun.”

Pak tua yang melayani pembeli terakhirnya, langsung mengalihkan perhatiannya pada kami. Sepasang mata cokelat nan kuyu itu memindai kami bergantian, baru tersenyum ramah. Menawari kami sayur-sayur yang baru didatangkannya dari desa, atau pula buah-buahan yang matang di pohon, tanpa diperam. Pak tua itu juga beberapa kali menawari kursi untukku duduk, sembari memilih mangga. Namun kutolak secara halus.

“Benar tak apa bila Tuan Puteri berdiri saja di sana?” tanya pak tua itu dengan wajah penuh penyesalan.

“Tak apa.” ujarku yang berfokus padanya, menduakan mangga di depanku. “Engkau lebih pantas untuk duduk. Anak muda sepertiku haruslah menghormati yang tua. Maka biarkan aku melaksanakan kewajiban itu dengan mempersilahkan engkau duduk.”

Pak tua tersenyum dengan lembut, mata beralis ubannya menyipit ke arahku. “Baik dan cantiklah engkau ini, Puteri. Sangat beruntung kerajaan ini memiliki Puteri sempurna seperti engkau.”

ONEIROITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang