Satu

19 2 0
                                    

Hamparan bunga matahari di depanku membuatku tertegun. Udara masih bersih dan juga pepohonan yang rindang di samping kanan dan kiri. Aku menelisik ke sepenjuru arah dan hanya menemukan permadani langit biru yang membentang di atasku, seperti hendak menimpaku. Kuangkat kedua tanganku, dan memanglah ini tubuhku. Dengan cincin pemberian Bunda yang melekat di jari manis kanan.

Aku bangkit dari rerumputan. Seperti orang linglung, aku berjalan menuju danau.

Bayangan gadis berambut sebahu dengan rangkaian mahkota bunga putih di kepalanya tergambar jelas di riak danau, sebelum terusak oleh kedua kaki yang tercelup. Seketika, rasa dingin langsung menyergap sarafku. Dari kaki, terus ke atas hingga kepalaku rasanya ringan sekali. Memejamkan mata. Menikmati derai-derai air mengalir di tubuhku. Sebelum bahuku ditepuk oleh seseorang.

“Puteri Bintang..”

Aku menoleh dan mendapati seorang pemuda tampan yang terbalut baju resmi. Putih polos dengan beberapa aksen berwarna cokelat membuatnya terlihat luar biasa mempesona. “Ya?” kataku. “Ada gerangan apakah kau kemari?”

Dia melihatku lama. Seperti melihat bidadari yang jatuh dari nirwana. Aku kikuk dilihatinya seperti itu. Aku bergerak gelisah dalam duduk sebelum akhirnya dia berdeham dan melanjutkan suaranya. “Jauh sekali engkau bermain, Tuan Puteri... Makan siang akan segera dimulai. Sekiranya Tuan Puteri dapat segera kembali ke istana.”

Aku bangkit. Menepuk gaun putihku yang berdebu dan lalu meraih uluran tangannya. Mendadak, atmosfer disekelilingku menghilang entah kemana. Aku butuh oksigen untuk bernafas. Dadaku rasanya terhimpit oleh udara yang kering seperti kapas. Pandanganku hanya dipenuhi oleh punggung tegapnya yang berjalan agak di depanku, lalu beralih ke tautan tangan kami.

“Apa Tuan Puteri merasa terganggu dengan kehadiran hamba?” tanyanya menoleh ke arahku.

“Tak usahlah kau menyebut dirimu hamba. Kau sendiri merupakan seorang Pangeran, Altair..” selaku. “Sungguh. Aku tak keberatan dengan keberadaanmu, Altair. Dan kumohon.” ucapku lamat-lamat sembari menatap lurus ke maniknya. “Panggil aku Bintang. Cukup Bintang.”

Mendadak dia terhenti. Dibawanya tubuhku hingga kami berdua berhadap-hadapan. Seakan lusinan mawar dengan durinya di sini menjadi pendengar setia dari debaran jantungku yang seperti genderang mau perang. Dia yang jauh tinggi di atasku, harus menunduk sedemikian rupa agar bisa menyejajarkan matanya dengan area pandangku. Kendati aku pun harus mendongak sekian derajat.

“Apakah engkau yakin dengan perjodohan ini, Bintang?”

Aku ingin berkata lantang bahwa aku sudah jatuh cinta padanya sejak aku melihatnya turun dari kereta kuda. Aku yang saat itu melihatnya dari balik tirai kamar, hanya diam seribu bahasa melihat elegannya dia berjalan diiringi beberapa pengawal di kanan-kiri. Tapi aku pun tak bisa memaksanya. Aku tidak bisa menjamin bahwa hatinya sudah bertuan atau belum. Maka, kuambil jawaban aman.

“Aku ini anak Ayahanda dan Ibunda. Kalau bukan dengan mereka, lantas dengan siapa aku harus menurut?”

“Berbakti benar kau ini kepada orang tuamu, Bintang.” katanya memandangku takjub. “Sungguh rugi bila aku tak segera meminangmu.”

Pipiku serasa terbakar mendengar perkataannya. Kualihkan pandanganku ke arah lain, ke arah mawar-mawar yang ikut merona hingga kelopaknya berwarna merah muda. Altair yang melihat sikap gugupku, langsung tertawa lepas. Direngkuhnya wajahku hingga mata kami berdua kembali bertubrukan. Tak kuhiraukan jinjingan ujung gaun yang terlepas dari pegangan, jatuh terhempas ke tanah yang kotor.

“Kau benarlah Puteri yang sempurna, Bintang..” pujinya lagi sebelum mengecup ujung hidungku mesra.

Aku terkikik sembari menghalau kecupan-kecupan berikutnya yang tak berujung, ingin kuberlari meninggalkannya yang ikutan tersenyum melihat tingkahku, namun disanggahnya tanganku, lalu ditarik, hingga tubuhku membentur dada bidangnya. Seketika juga tawaku surut. Kupingku mendengar detak jantungnya yang bersahutan dengan detak jantung milikku. Aku termenung untuk beberapa saat kala mendengar bunyi paling indah itu.

ONEIROITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang