Empat

8 0 0
                                    

Kutulis serangkaian kata di kertas dengan tinta. Carolia sedang mendatangi rumah demi rumah, untuk menawarkan rajutannya. Maka dengan meringis, merasakan sakit yang menjalari kaki kananku, aku berjalan tertatih dengan bertumpu pada dinding. Halaman belakang terasa sangat jauh untuk diriku yang sekarang. Maksudku dengan bambu dan kasa yang menyangga kakiku tentu rasanya tidak enak. Barangkali kau belum tahu rasanya patah kaki.

Sosok Reyner yang tengah mencabuti rumput liar di sekitar tanaman mawar memenuhi manik hazelku. Aku berusaha sekuat mungkin untuk mencapai kursi anyaman bambu yang terletak sebelas langkah di depanku. Air mata sudah mengumpul di pelupuk mata karena sungguh, rasa sakit di kakiku semakin menjadi. Begitu tanganku meraih sandaran kursi dengan sekali sentakan, aku kehilangan keseimbangan, dan jatuh begitu saja dengan tubuh tertimpa.

Mungkin karena suara bedebum yang keras, Reyner menoleh, lalu mendapatiku yang tengah berusaha bangkit. Namun apadaya. Aku terjatuh lagi. Pemuda itu berlari menyongsongku. Dengan keringat yang merembesi dahinya, dan wajahnya yang mendadak kaku kalau di depanku. Aku heran kenapa bisa seperti itu.

“Merepotkan.” Katanya sembari menyentil dahiku keras.

Aku mengaduh dan lalu mengusap-ngusap perih di dahiku. Aku memberengut sebal menilik sikapnya yang semena-mena itu. Tak tahukah dia bahwa aku ini Bintang? Mungkin tidak. Secara dia tak pernah memanggilku dengan nama.

Reyner membenarkan kursi rotan yang terjungkir, mengangkat tubuhku dengan entengnya, dan kemudian mendudukkanku. Dia berlutut di depanku, hingga pandangan mata kami berdua sejajar. Ada sesuatu dari balik mata biru zafir itu. Bahkan ketika aku terbangun di atas pangkuannya beberapa hari lalu sewaktu diajaknya aku menjelajahi desa, meski aku yang salah karena bisa-bisanya tertidur di punggungnya hanya karena aroma cengkih yang menenangkan.

Waktu itu aku langsung bangun dengan sigapnya. Dia mengernyit melihatku yang rikuh dalam duduk, dengan kaki kanan yang terbujur lurus.

“Kau kira punggungku ini ranjang berjalan?” katanya sakartis. Dalam hati tak hentinya aku memohon ampun pada Tuhan karena mungkin saja dipertemukannya aku dengan pemuda menjengkelkan yang seenak jidatnya ini merupakan hukuman, karena aku banyak dosa.

Aku memilih mengabaikannya. Aku baru sadar kalau kami ini sedang ada di pinggir jurang. Dimana di bawah sana terhampar pasir pantai yang putih dan debur ombak birunya. Angin laut yang asin menerbangkan anak rambut yang terlepas dari kepangku. Membikin aku ingin terjun ke bawah dan menyatu dengan alam saking indahnya. Tak sadarlah aku sudah duduk di depan Reyner, membelakanginya.

Aku berjengit begitu seonggok kepala hitam tersembul di perpotongan leher dan bahuku. Begitu kutoleh, aku mendapati Reyner yang tertidur pulas, dengkur nafasnya teratur menerpa kulitku. Hatiku agak sedikit iba melihatnya. Apakah dia begitu bekerja keras untuk menghidupi ibunya sampai kelelahan seperti ini? Belum lagi dia menggendong dan membawaku ke sini. Sebenarnya seberapa jauh dia berjalan dari rumah ke pantai ini? Karena aku pun tak menemukan tanda-tanda desa tempatku ditolong merupakan desa nelayan.

“Harusnya kau duduk diam di kamar.” Ujarnya dingin, menatapku tajam dengan manik safirnya. Kadang aku heran. Untuk apa dia menolongku waktu itu kalau sikapnya padaku pun seperti ini?

Kutunjukkan kertas yang sudah berisi deretan kata ke depan wajahnya.

“Aku tidak sempat melihat apakah ada kalung yang melingkari lehermu.”

Aku menghembuskan nafas panjang. Kalau Reyner tak tahu, Carolia pun tak memberiku apa-apa yang berarti memang tak ditemukan apapun di tubuhku sewaktu dia mengganti pakaianku, lantas dimana kalung matahari perak yang indah itu?

*

Kain yang membungkus bekal makanan kuikat dengan erat, lalu kutaruh di samping. Carolia yang berdiri tak jauh dariku hanya memandangku penuh arti. Sudah dilarangnya aku sedemikian rupa agar aku tak menjenguk Reyner di ladang, tapi aku berontak. Rasa tidak enakku karena telah membebani Reyner lebih besar dari rasa jengkelku, hingga menjenguknya dengan bekal makan siang seperti ini pun tak ada apa-apanya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 24, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ONEIROITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang