“Ya ampun! Siapa aja, panggil ambulance!”
“Ih.. kasian banget sih Mbak ini..”
“Kok bisa ya.. Ini siapa saksinya?”
“Tadi si saya lihat Mbak ini mau nyeberang. Terus dari barat ada truk pasir gitu.. Lha saya udah teriak-teriak supaya Mbak nya minggir, tapi kayaknya nggak denger. Ya lagian lampu merah kok truknya tetep jalan, bego banget kan.”
“Cepetan! Mana ambulance nya? Kasihan ini kepalanya berdarah.”
“Coba cek dompetnya.. siapa tahu ada KTP atau SIM. Biar saya cek hapenya. Saya telepon siapapun kenalan Mbak ini.”
“Supir truknya kemana sekarang?” “Lagi diurus polisi, Mas.. takutnya malah diamuk orang-orang kan gawat.”
Kupingku dipenuhi oleh suara-suara itu. Aku tak tahu apa yang terjadi pada diriku. Pandanganku menghitam, gelap. Orientasiku tak lagi jadi urusan. Bahkan aku ragu, apakah aku ini mempunyai raga atau tidak. Seakan aku sedang berada di dalam dimensi gelap dan terasingkan yang lebih daripada blackhole, atau lebih miesterius dibandingkan segitiga bermuda. Apapun itu. Aku hanya berharap setitik cahaya bisa membantuku di kegelapan ini.
Dengan sisa-sisa tenaga, aku berusaha membuka mata. Tapi nihil. Perekat di antara sela kelopak mataku lebih sadis daripada yang kukira. Akhirnya aku hanya bisa pasrah. Membiarkan tubuhku ditelan oleh jemari hitam berbayang, semakin dalam. Dan aku sangsi kalau aku masih hidup.
Tapi entah dapat dorongan darimana, netraku terbuka. Meski awalnya silau oleh pendaran cahaya, akhirnya aku bisa memfokuskan retina, dan mendapati langit biru yang tersembul di lubang atap. Entah aku dimana. Seingatku, ini bukan langit-langit kamarku di istana, atau pula langit-langit kamar yang biasanya kutempati di rumah Wilea. Nyawaku masih berkelitan sana-sini, mencari sisa-sisa receh yang tercerai dari hisapan dimensi hitam-
-baru kemudian aku ingat bahwa sebelum ini, ada suara-suara orang panik berdengung di telingaku, yang aku sendiri tak menahu apapun. Ingin ku tanya pada gemintang, tapi matahari masih enggan beralih dari kaki langit. Aku mencoba bangkit, namun yang meluncur dari mulutku adalah desisan. Sekujur tubuhku terasa pedih, terutama di bagian kaki kananku.
Kemudian kurasakan sepasang tangan kekar membantuku duduk.
‘Altair?’ batinku.
Pun pemuda asing di depanku ini hanya menatapku dalam diam. Sorot wajahnya yang tegas dan dingin membuat diriku tergugu dalam duduk. Tak berani ku bersipandang dengannya. Ada sesuatu dari dirinya yang membuatku enggan. Bukan karena rambut hitamnya yang kusam, atau pula wajahnya yang berminyak dan gosong tersiram matahari, tapi entahlah. Bibirnya membentuk garis lurus.
“Siapa kau?” tanya pemuda itu dengan mata menelisik tajam ke arahku.
Aku ingin menjawab, sekaligus mengucapkan terima kasih karena telah membiarkanku tetap hidup serta menanggung semua kesakitan ini, tapi suaraku hilang. Terselip di antara paru-paru. Diamnya aku malah membikin wajahnya semakin datar. Aku ingin bertanya kepada Tuhan, apakah Dia pernah menciptakan makhluk sembari bersedih hingga lahirlah pemuda ini?
“Apakah kau bisu, Nona?”
Kuabaikan dia. Bukannya aku bisu. Hanya saja... Hanya saja..
Entahlah. Sepertinya kenyataan tentang Altair dan terjatuhnya aku ke jurang, merenggut suaraku.
Pandanganku yang kini mengedar ke seluruh penjuru rumah sederhana ini, lantas terhenti ke arah perempuan tua yang sedang merajut di sudut ruangan. Matanya yang sudah tak jernih lagi nampak serius dengan benang-benang, dan tangannya yang keriput masih tetap lincah menari-nari di batangan. Tak berselang lama, perempuan tua itu melihatku, tepat ke arah mataku. Seketika ada siraman air yang terasa menyejukkan dadaku.

KAMU SEDANG MEMBACA
ONEIROI
FantasyAku seorang pustakawan yang sering mengisi waktu lengang dengan kopi dan dunia khayalan, dunia indah yang sering kutuangkan ke dalam torehan tinta. Tapi semuanya berubah ketika ada sebuah truk yang melaju kencang ke arahku. Aku tidak tahu. Apakah ak...