02. Dia Adistia Rafa.

108 10 0
                                    

     Entah sudah bungkus ke berapa, tapi mulutnya terus saja bergerak demi mengunyah roti sobek rasa coklat di mulutnya.

     Duduk di kursi taman dengan mata yang lurus memandang ke depan. Memperlihatkan atau lebih tepatnya mengawasi sosok laki-laki dan perempuan yang sedang duduk di kursi bawah pohon tersebut. Berbagai cara dia lakukan agar mereka tak melihat keberadaannya di sini. Karena, pertama dia malu untuk hanya bertemu dengan laki-laki itu karena kejadian memalukan kemarin. Kedua, laki-laki itu sedang bersama nenek lampir dan Arana benci nenek lampir tersebut. Ketiga, karena Arana tak mau ketahuan kalau dia sedang mengawasi mereka.

     Sang laki-laki sejak tadi sibuk berkomat-kamit menjelaskan sesuatu kepada si perempuan. Tapi, dengan wajah tanpa dosanya, si perempuan itu malah tersenyum tak jelas memandang ke arah laki-laki itu. Semacam, 'ah kapan lagi bisa memandang wajah Altair sedekat ini?'

     Tangannya terasa gatal ingin melempar perempuan itu dengan botol air mineral yang sedang dia bawa. Dia sudah tahu dari jauh-jauh hari bahwa Adistia Rafa menyukai sosok Altair Alexi. Bahkan tak hanya dia saja yang tahu, mungkin tukang siomay, gado-gado, bakso, dan mie ayam di sekolahnya atau bahkan semua makhluk ciptaan Tuhan di sekolah mereka juga mengetahui hal itu.

     Maka dari itu saat Arana menyatakan perasaannya terang-terangan di  depan kelas waktu itu, Adistia langsung melenggang pergi dengan wajah merah padamnya. Hal itu tak urung membuat Arana gemas sendiri, hingga secuil roti sobek yang tadi mengembung, sekarang menjadi bulatan kecil karena remasannya yang maha dahsyat.

     Arana terus mengawasi hingga dua sejoli itu beranjak dari duduknya. Membereskan alat tulis yang berserakan di atas meja taman. Dengan gerakan cepat, Arana langsung memalingkan wajahnya seolah dia tak melihat keduanya berjalan ke arahnya.

     "Lo ngapain?" Tanya seseorang dengan suara berat dan kaku. Tentu Arana tahu siapa dia. Arana menoleh, mendapati wajah tampan milik Altair berada di depannya dan juga... seorang nenek lampir yang berdiri di sebelahnya. Setidaknya, itu menurut Arana.

     Arana menggeleng gelagapan, "enggak. Gue nggak sendiri, kok." Alibinya.

     Altair menoleh ke kanan dan ke kiri, mengiyakan saja jawaban gadis yang sedang kesulitan mengunyah itu.

     Altair maupun Adistia hanya mengangguk. Setelahnya mereka pergi begitu saja tanpa mengucapkan salam atau apa. Meninggalkan senyuman devil di bibir Adistia.

     Setidaknya, acara balas dendamnya dengan Arana sudah tercapai. Meskipun, ini masih belum seberapa.

     Kalau begini, Arana hanya bisa melihat punggung tegap dan lebar milik Altair dari belakang. Semakin menjauh, dan menjauh hingga hilang di belokan pertama.

-°°°-

     Perpustakaan bisa dibilang adalah tempat ternyaman menurut Altair. Selain tempatnya yang dingin, sepi, dan juga dia bisa bebas membaca buku. Tapi, saat ini hal itu tak berlaku baginya, karena ada sosok yang menjengkelkan berada di dekatnya saat ini.

     "Ta. Kamu denger nggak, sih, aku ngomong?" Tanya Adistia sambil mencondongkan tubuhnya ke arah Altair.

     "Hm."

     "Tapi, kok kamu diem aja?"

     Altair menoleh, "apa?" Tanyanya mulai jengah dengan wanita yang selalu mengusik hari sepinya.

     "Aku mau minta tolong ajarin Fisika. Kamu kan pinter Fisika."

     Altair hanya mengangguk dan menarik buku Fisika yang sebelumnya Adistia sodorkan. Tapi, dengan cekatan Adistia menarik buku tersebut membuat Altair mengerutkan dahinya. Merasa bingung apa yang dimau oleh gadis cerewet ini.

Logika RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang