01. Dia yang Bodoh.

221 14 4
                                    

"Aku suka sama kamu!"

"Maksud aku. Aku benar-benar suka sama kamu!" Ulangnya.

Krik...

Krik...

Krik...

Dia melihat sekeliling. Sunyi ditengah keramaian kelas. Obrolan para pembuat pencemaran suara kini lenyap tertelan oleh satu tatapan datar dan dingin yang tertuju padanya. Iya, tertuju padanya. Karena memang perempuan itu sedang berbicara pada 'nya'.

Pada laki-laki berwajah datar tanpa ekspresi di depannya saat ini.

Tangannya yang sedari tadi terlipat di depan dada itu dilepasnya saat mulai berjalan kemari. Menghampiri gadis yang tak tahu malu itu, dengan mengatakan isi hatinya di depan kelas. Bahkan dengan lantang, dan tanpa dosa.

Kalau boleh dia berpikir saat ini.... mungkin laki-laki itu ilfeel kepadanya. Sejenis jijik lebih tepatnya.

Tapi, tunggu. Sebuah senyuman terukir jelas di bibir laki-laki tersebut. Sangat jelas hingga matanya tak perlu berakomodasi maksimal untuk mengetahui deretan gigi-gigi putihnya yang rapih. Hingga suara bass yang mulai terdengar dari mulut dua jarinya itu menggema dalam kesunyian suasana kelas siang ini.

"Naikin dulu grafik Fisika lo." Katanya sambil mengusap rambut perempuan tak tahu malu itu, kemudian... pergi. Seketika, pundaknya langsung turun. Alisnya menaut hampir sempurna.

'Apa barusan dia terima gue dengan syarat? Atau justru gue ditolak secara halus?' Batinnya penuh tanda tanya.

Entahlah. Dia lebih memilih ikut berlalu sembari menghabiskan susu coklat penambah tinggi yang dibelikan laki-laki tersebut untuknya. Selang beberapa menit berlalu, dia mulai sadar akan sesuatu.

Wajahnya memanas. Bukan wajah saja, tetapi tubuhnya, kepalanya, dan sontak dia mengingat sesuatu. Sesuatu rahasia yang harusnya hanya dia dan Tuhan saja yang tahu.

Ah, itu berlebihan.

Tapi, seharusnya laki-laki itu tak tahu.

'Gila! Mau ditaruh mana muka gue?!'

Tangannya yang tadinya menggantung bebas di samping tubuh rampingnya itu kini mulai meraba seluruh bagian wajahnya. Mulai merasa malu akan apa yang dia lakukan tadi. Kenapa, sih, dia selalu tak bisa diam? Lalu, bagaimana nanti saat dia bertemu dengan Altair?

Lupakan masalah 'nanti'. Tapi, masalahnya, setiap hari dia bertemu dengan Altair. Menghirup udara panas yang sama karena dua AC butut itu tak bekerja, bahkan, berada satu atap dengannya!

'Bisa gila, ini.'

Apa lagi dia mengungkapkan isi hatinya kepada Altair. Laki-laki bersuara bass, dengan tubuh jakung dan dada bidang miliknya. Peminat pelajaran Fisika, yang mungkin perempuan memalukan ini akan muntah saat mendengar kata 'Fisika'. Tapi tidak dengan Altair Alexi.

Laki-laki yang selalu menertawakan perempuan tak punya malu itu saat dia mendapatkan nilai merah di mata pelajaran Matematika, apalagi Fisika.

Laki-laki yang hampir setiap hari membelikannya susu rasa coklat untuk menambah tinggi.

Kenapa?

Ya... karena dia pendek, dan Altair lagi-lagi lebih tinggi darinya.

Altair juga, cowok yang menyebalkan dengan sifatnya yang dingin, irit omong, dan cuek. Sekalinya bicara, mungkin itu akan membuat hati para pendengarnya patah.

Tapi, jangan harap saat dia sudah tertawa atau tersenyum. Bongkahan batu es di Kutub Utara sana saja bisa meleleh. Apa lagi hati perempuan itu.

Lupakan.

Lalu... perempuan tak tahu malu itu-sebut saja namanya Arana.

Arana. Sosok gadis penyuka warna biru. Bisa dibilang maniak warna biru, dia menyukai Altair Alexi. Lebih dari dia membenci Fisika. Hingga sekarang, dia mengaku pada Altair bahwa dia suka dengan laki-laki itu.

Gila! Arana memang gila! Dimana letak logika yang dia punya? Atau dirinya saja yang ditakdirkan tanpa logika? Sepertinya berburuk sangka pada dirinya adalah hal yang tak harus dia lakukan sekarang. Yang harus dia lakukan adalah memikirkan apa yang harus dia lakukan saat berhadapan dengan Altair, sosok laki-laki dingin yang punya beribu kehangatan.

Logika RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang