Mulai Dari Dapur

22 6 2
                                    

  Bibi Lovinda berjalan mondar-mandir tak karuan,jelas sangat cemas. Rowena berusaha membuatnya tenang,hampir menyesal telah memberitahu bibi Lovinda tentang apa yang terjadi pada Leuwen. Dia juga sudah berulang kali mengatakan bahwa dia akan berusaha mengeluarkan Leuwen,tapi sia-sia,bibi Lovinda tetap tidak bisa diam.

  Bosan dengan situasi ini,namun Rowena tak mengatakan apapun,sementara bibi Lovinda juga tak mengeluarkan suara apapun selain ketukan sepatu selipnya. Mereka cemas pada hal yang sedikit berbeda,bibi Lovinda cemas pada nasib Leuwen sedangkan Rowena cemas pada-rencana apa yang akan dilakukan paman Ruf besok-.

  Bibi Lovinda yang akhirnya merasa lelah,duduk di hadapan Rowena di meja makan. Menatap Rowena dengan tatapan menginterogasi.

  "Kau akan membantu Leuwen bebas ?" tanyanya.

  "Ya bibi," jawab Rowena pelan. "Bukankah sudah ku katakan berulang kali ? Aku akan mengeluarkannya dari penjara istana itu."

  "Bagaimana kalau tidak bisa ?" Bibi Lovinda menaikkan nada suaranya.

  "Kau percaya padaku atau tidak ?" tanya Rowena jengkel.

  "Apa yang bisa kita lakukan Rowena ? Kita hanya perempuan lemah. Aku hanya bisa berharap dia bebas saat ini juga." Kata bibi Lovinda,menggerakkan tangannya seolah sedang berdoa.

  Rowena terdiam. Mencoba mencari kata-kata yang bagus untuk berargumen,tetapi percuma. Hanya saja dia tidak ingin membenarkan ucapan bibi Lovinda. Tak ada yang bicara sesudah itu. Jam terus berdetak perlahan,detik demi detik,menit demi menit,jam demi jam,perlahan berlalu. Rowena tidak mengantuk sama sekali,tapi bibi Lovinda kelihatannya sangat lelah sampai dia tertidur di meja makan.

  Rowena menggerak-gerakkan kaki gelisah. Dia tidak bisa menunggu sampai subuh nanti. Rowena melihat ke atas ke langit-langit rumahnya yang terbuat dari kayu.

  "Aku pasti bisa membebaskan Leuwen," gumamnya.

  Sementara di istana,di teras ruang tengah,Erlas sedang menatap langit yang datar tanpa bintang. Angin dingin menerpa wajahnya berulang kali dan menyapu rambut hitamnya. Dia sering melihat langit malam,membuatnya merasa lebih dekat dengan ibunya-walaupun sama sekali tak ada gunanya. Orang-orang bilang hal-hal aneh tentang penyebab kematian Ponyra. Ada yang bilang dia sakit,beberapa menganggap dia mengalami kecelakaan,dan ada juga yang berani mengatakan bahwa ada yang mencoba membunuhnya.

  Namun itu sudah lama sekali berlalu. Baik keluarga kerajaan maupun rakyat sudah tidak mengingat-ingatnya lagi,tak ada yang menghiraukannya lagi,atau jika Erlas juga menghiraukannya-tapi tidak,dia tidak pernah melupakannya. Perkataan orang-orang tentang Ponyra terus berputar di kepalanya tiap malam. Dan dia terus mencoba mencari jawaban. Percuma bertanya pada orang-orang di kerajaan,bahkan kepada Nivellus karena mereka hanya akan menjawab "Itu sebuah kecelakaan," dan tidak menjelaskannya lagi.

  "Tidak bisa tidur ?" Tanya Lucas yang tiba di belakangnya. Erlas berpaling menghadap Lucas.

  "Rasanya aku memang tidak pernah tidur." Jawab Erlas disertai tawa hambar.

  "Ada yang mengganggu pikiranmu ?" tanya Lucas,menghampiri Erlas dan bersandar di teras.

  Erlas tertawa kecil. "Aku memikirkanmu."

  "Oh,kau mulai rindu padaku nih ?" Kata Lucas dengan nada mengejek.

  "Hmm,ya kurasa begitu."

  "Ha ha ha,kau ini," Lucas menatap Erlas yang kembali melihat langit. "Hei,kurasa sudah saatnya kau mencari pasangan." Katanya tiba-tiba. Membuat Erlas langsung menatapnya.

  "Pasangan apa ?" Jawab Erlas,pura-pura bertampang bingung.

  "Kau pikir pasangan itu semacam apa ? Kentang ?" Balas Lucas jengkel. "Tentu saja perempuan. Kau ini idiot atau gimana sih?"

SHRULA [HIATUS Untuk Sementara]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang