Satu

66 4 0
                                    

"Ia ada di situ lagi," umpat Drew McCasslin dalam hati sambil mengayunkan raketnya.

Sudah ketiga kalinya dalam waktu seminggu ia menempati meja yang sama di pelataran yang menjorok ke arah lapangan tenis itu. Payung meja yang bercorak garis-garis cerah itu hanya setengah menaungi wajahnya.

Meja itu masih belum ditempati sewaktu ia dan Gary mulai main tadi. Namun ia tahu persis kapan wanita itu melangkah keluar dari serambi yang merupakan bagian dari bar di klub itu. Pukulan Drew luput saat ia membiarkan perhatiannya terpecah pada cara luwes wanita itu merapikan letak roknya waktu akan duduk.

"Makin hari makin baik," puji Gary saat mereka bertemu di dekat net untuk mengatur napas, mereguk Gatorade, dan menyeka keringat yang sudah tidak mampu diserap lagi oleh ikat kepala mereka.

"Tapi masih belum cukup," sahut Drew sebelum menenggak isi botol minumannya. Saat mengangkat botol, ia melirik ke arah si wanita yang duduk di pelataran di atas mereka. Wanita itu telah mengganggu perhatiannya sejak hari pertama ia melihatnya di sana.

Sekarang wanita itu mengetuk-ngetukkan pensil ke atas sebuah notes, yang dianggap Drew sebagai ciri khas dirinya. Apa sih yang ia tulis di atasnya? Drew menurunkan botolnya perlahan-lahan, matanya yang biru menyipit.

Apakah wanita itu termasuk salah satu reporter yang usil-usil itu? Mudah-mudahan tidak. Tapi bukankah itu cara khas sebuah majalah tabloid untuk memancing perhatiannya demi mendapatkan sebuah kesempatan wawancara.

"Drew? Kau dengar apa yang kukatakan?"

"Ya?" Ia mengalihkan perhatiannya kembali kepada lawan mainnya, yang begitu bersahabat. "Sorry. Kau bilang apa?"

"Kubilang staminamu membaik sejak minggu lalu. Kau sudah membuatku kelabakan tadi, tapi tampangmu masih segar."

Sudut mata Drew berkerut saat ia tersenyum, menyamarkan garis-garis halus di wajahnya yang kecokelatan. Sebuah senyuman yang mengingatkan akan hari-hari sebelum ia mengenal apa arti sebuah tragedy.

"Permainanmu bagus, tapi kau kan bukan Gerulaitis, Borg, McEnroe, atau Tanner. Sorry, Sobat, tapi aku masih tetap harus bekerja keras sebelum menghadapi mereka. Dan itu akan memakan waktu. Ehm, aku tidak bermaksud menyinggung perasaanmu." Senyum yang pernah terkenal itu mengembang lagi.

"Trims," ujar Gary datar. "Aku sudah tidak sabar menghadapi saat di mana aku kehabisan napas sementara kau masih memiliki cukup banyak energi untuk melompati net begitu pertandingan usai."

Drew menepuk pundak Gary "Begitu dong semangatnya," ujarnya, sambil memuntir raketnya dengan lihai seolah benda itu kepanjangan dari lengannya.

Tepuk sorak antusias terdengar dari arah sekelompok penonton wanita. Mereka bergerombol di salah satu sisi pagar yang mengelilingi lapangan tenis itu. Sorak sorai mereka semakin ramai saat Drew melangkah kembali ke garis belakang.

"Seluruh penggemarmu hari ini hadir semua dan habis-habisan," ujar Gary terkesan.

"Tak ada kerjaan!" gerutu Drew sambil memelototi cewek-cewek yang menempel di pagar seperti
penghuni kebun binatang yang kelaparan. Dan dirinya lah yang mereka anggap sebagai santapan.

Drew mengumpat, "tapi mereka bukannya mundur malah semakin menjadi."

Mereka menyerukan kata-kata tak senonoh ke arahnya. Tanpa rasa malu salah seorang di antara mereka menaikkan blus ketatnya untuk memamerkan tulisan "Drew McCasslin" dalam dekorasi bunga, hati, dan burung-burung kecil yang ditato di atas kulit tubuhnya. Seorang lagi memakai sebuah bandana di paha, persis seperti yang ia kenakan di kepalanya setiap kali bermain tenis. Drew membuang muka dengan sebal.

A Secret SplendorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang