Nol Persen

118 3 0
                                    


Adalah pada babak eliminasi Inter-high tahun keduanya, saat sekolah mereka bertemu, untuk pertama kalinya Sehun melihat sosoknya. Rekan-rekan setimnya sudah terlebih dahulu menuju ruang ganti stadium setelah selesai bertanding melawan tim basket sebuah SMA yang tak lagi ia ingat namanya, namun ia mengabaikan panggilan kesal Chanyeol-hyung dan malah berdiri menganga setelah tim lawan mereka berjalan lewat.

"Selamat siang, semoga pertandingan kita lancar!"

Seru teman setimnya, tetapi hanya dia sendiri yang tidak bicara.

Pertama kali Sehun melihatnya, mata rusa itu telah menangkap perhatiannya.

"Hyung... barusan itu... malaikat?"

Chanyeol menatapnya aneh. Sehun diseret ke lapangan dengan pikiran tidak tenang.

Permainan berlangsung dalam tempo sederhana, sejauh mata dan pengalamannya sebagai pemain kelas dua mengamati. Tetapi Sehun tak terlalu merasuk dalam permainan. Karena, aalam satu persekian detik, mata elangnya berhasil mengenali manik jernih yang tadi tak luput oleh amatannya.

Tubuh orang itu ramping dan sedikit menyerempet kata feminim, walau kesan berisi tak luput dalam deskripsi. Caranya berkelit mengejar bola dari pemain lawan bagai tarian enerjik, tangannya sesekali terangkat untuk memberi kode-kode alih strategi.

Saat rahangnya mengatup keras, Sehun tahu ia tengah menggertakkan gigi. Mungkin kesal karena kemampuan lawan mereka tak bisa dipandang sebelah mata, atau mungkin malah ia menahan tawa kencang dari adrenalin permainan?

"Luhan! Pass ke sini!"

Mata rusanya juga—faktor utama yang membuat Sehun tertarik padanya. Sesekali sepasang netra itu akan mengernyit di bawah pengaruh emosi, sesekali bergerak liar dalam zona penglihatannya untuk mencari target passing yang tepat, dan beberapa kali juga akan berkilat senang saat bola jingga sebesar kepala itu berhasil masuk dalam ring mereka.

"Luhan, sini!"

"Luhan, lempar bolanya!"

"Nice pass, Lu!"

Cara pemuda itu tersenyum pada rekan-rekannya seraya berseru semangat, cara pemuda itu mengarahkan permainan timnya dari lini belakang, cara pemuda itu mengekspresikan emosi tegangnya, cara pemuda itu tertawa lepas atas dua poin yang timnya terima...

Buk!

Luhan termangu ketika seorang lawan berkulit terlalu pucat yang barusan hendak ia halangi itu tiba-tiba melempar bola dengan kasar ke arahnya.

"Luhan-hyung! Jadilah pacarku!"

... he?

Tarik nafas dramatis dari orang-orang yang menonton mereka.

Bola basket yang sebelumnya direngkuh kuat si pemuda Cina menggelinding bebas, dilepas si empu yang masih melongo kaget mendapat pernyataan cinta dadakan. Nyaring peluit wasit pertandingan terabai tanpa segan.

Tunggu, bilang apa dia tadi?

Sebentar-sebentar... Luhan saja tidak kenal dia ini siapa!

Si manis habis kata-kata. Lidahnya berkelit menolak bicara. Bocah ini, berteriak sekencang itu, sekasual itu, seolah mereka sedang ada di reality show katakan cinta dan bukan di tengah gym indoor yang dikepung tribun berisi ratusan kepala sekaligus jadi sorotan pertandingan dan bocah yang bahkan hanya pernah ia sapa satu sekali seumur hidupnya yakni pada saat mereka berpapasan di koridor ruang ganti dan sekarang dongsaeng ini berani-beraninya bilang begitu di depan mukanya tanpa tahu malu akan tatapan ratusan orang apa anak ini serius hah beraninya dia—oke, Luhan, ambil nafas dulu.

Artificial Love [HunHan]Where stories live. Discover now