Delapan Puluh Empat Persen

68 4 3
                                    



.:xxx:.

"Sehunnie," desah manis itu menggetarkan pendengarannya. Manis, merujam masuk menyentil gendangnya. "Aku sudah sering bilang jangan tidur larut, kan? Begini jadinya, sulit bangun!"

Badan jangkung menggeliat, mencari sumber tenor merdu yang memekakkan tetapi nikmat.

"Sehunnieee, ayo bangun!"

Sudut bibirnya tertarik. Matanya terlalu berat untuk dibuka. Tapi bahkan dari balik kelopak tebalnya Sehun bisa melihat rusa manis yang berkacak pinggang, bibir mencebik kesal digoda, alis tebalnya menekuk tak sabaran.

Rusanya. Rusanya yang manis.

Yang ia rindukan.

"Sehunnieee!"

Ia bisa menjawab. Ia bisa bangun. Ia bisa bangkit dan mengecup pergi kekesalannya. Mengembalikan senyum dan gelaknya.

"Ung. Nanti."

Ia bisa membuka mata. Ia bisa bangkit dari mimpinya dan kembali pada kenyataan.

Ia bisa melangkah.

"Sehunnie!"

Tetapi ia tidak mau.

Sehun ingin mendengar suaranya, sedetik lagi lebih lama.

"Ayo, bangun!"

Sekalipun matanya tak lagi bisa memandangi sosoknya.

Paling tidak, biarkan telinganya bergetar oleh suara indahnya.

"Baik, kalau kau tidak mau bangun, aku yang pergi!"

"Jangan!"

Tubuhnya berjengit oleh gejolak. Ia bangkit dan memeluknya. Ranjangnya berderit kencang. Sehun jatuh membawa sesosok... badan?

Matanya terbuka. Tidak, seharusnya ini adalah adegan di mana ia hanya mampu merangkul angin, terpiuh pada udara dingin dan aroma redup sisa Luhannie. Lalu menangisi kebodohannya sendiri dan memori hinanya karena melupakan bahwa Luhan sebenarnya telah pergi.

Harusnya itu yang terjadi hari ini, sama seperti seribu hari yang lain.

Tangan hangat menyapa wajahnya, menangkup pipinya dalam gerak lembut.

"Sehun."

Bibir Sehun bergetar. Luhan harusnya tidak menjawab. Luhan harusnya adalah manifestasi semu, proyeksi imajinasi yang bersikeras ia masih hidup.

"L-Luhan... Luhan? Luhan!"

Tangan yang mengusap lelehan air dari pelupuk harusnya tidak ada. Harusnya sekarang Sehun tengah memeluk dirinya sendiri.

Sehun melakukan apa yang paling ia takutkan; membuka mata.

Manik bening itu tak harusnya menatap balik padanya Wajah cantik itu tak harusnya berada sejengkal dari mukanya.

"L-Luhan?"

Sehun berkedip. Mengusir kantuk. Mengundang kejut.

"Tuan?"

Tidak.

Bukan.

Luhannie tidak memanggil Sehun 'Tuan'. Luhannie tidak memiliki intonasi datar menyeramkan. Luhannie tidak berekspresi datar.

"Tuan Sehun barusan mengigau," Suaranya. Itu suaranya. Namun menyeramkan. "Saya Lulu."

Lulu.

Lulu.

Artificial Love [HunHan]Where stories live. Discover now