Part 2

1.7K 40 12
                                    

Pertama yang dilakukan Bryan adalah menghela napas. Lalu meyakinkan dirinya untuk rileks. Dan yang terakhir, ia mengumpulkan kata-katanya yang berserakan di balik lidahnya untuk menjelaskan semuanya pada Je.

Well, sebenarnya apa yang dikatakan Je tentang wanita jalang itu tak sepenuhnya benar. Pertama, ia berada di rumah sakit, bukan hotel. Dan entah bagaimana caranya Je bisa mengetahui bahwa dirinya berada di sana. Tapi, menilik bahwa dirinya di rumah sakit dalam keadaan segar bugar, bisa jadi Je menyangkanya berkencan dengan seorang dokter muda.

"Baby Je, aku tidak berkencan dengan siapapun semalam," ujar Bryan setelah mendapatkan kembali ketenangannya. Lampu merah sudah berubah menjadi kuning. Dengan mengubah perseneling, Bryan mulai menginjak pedal gas mobil mewahnya.

"Benarkah? Lalu, apa yang kau lakukan di rumah sakit sampai kau mengabaikan semua pesanku?" ujar Je dingin. Tangannya bersedekap di depan dada.

Je, atau Jeremy Andriano melihat Bryan yang menghela napas dengan begitu dramatis.

"Aku menyelamatkan seorang perempuan," ujar Bryan pelan.

Kening Je berkerut. "Kau? Menyelamatkan perempuan? Sejak kapan jiwa sosialmu tumbuh?"

Sembari tetap memperhatikan jalan, Bryan menjawab pertanyaan Je yang sakartis itu. "Well, sebenarnya dia asisten kakakku. Berhubung menurut kakakku dia yang terbaik, jadi aku tak ingin membuatnya kehilangan bawahan yang paling berharga," sebuah seringaian tipis tercetak di bibirnya.

Je semakin mengerutkan keningnya. "Kenapa kau meyeringai seperti itu?"

"Eh, apa?" Bryan menoleh ke arah Je yang menatapnya curiga. "Hei hei, aku tak merasa sedang menyeringai atau apapun," bantahnya.

"Terserah kau saja. Yang penting sekarang aku ingin kita pulang. Aku lelah," putus Je.

Bryan hanya mengedikan bahu. Sedikit lega karena Je tak bertanya macam-macam lagi. Meski ia juga was-was karena Je pasti akan ngambek padanya.

Okay, kalian mungkin masih bingung. Bryan dan Je memang salah satu pasangan gay yang hidup bersama di kota besar ini. Tentu saja dengan menyembunyikan identitas mereka jika di dunia luar. Mereka tak ingin karier mereka terganggu. Apalagi Je adalah seorang penyanyi sekaligus aktor. Tapi Je tidak berada di bawah naungan Adinggar Ent.

Sampai di sebuah rumah yang menjadi hunian mereka, Je turun dari mobil dan langsung masuk ke rumah tanpa menunggu Bryan. Rumah mereka berada di sebuah kawasan yang cukup elit. Dan keamanan di sana sangat ketat, hingga Je maupun Bryan tak perlu khawatir tentang gossip atau berita tak sedap yang akan menyerang mereka.

Lagi-lagi Bryan hanya menghela napas. Ia tahu, istrinya itu sedang marah.

Dengan langkah yang berat, Bryan masuk ke dalam rumah. Ia mendengar pintu kamar mereka berdebum keras. Dan itu pertanda bahwa dia harus mengungsi dulu di ruang kerjanya. Tapi sebelum itu, ia memutuskan untuk mandi, menghilangkan segala penat dan perasaan aneh yang menggelayuti batinnya.

*

Je membanting pintu dengan seluruh tenaga yang ia punya. Ia tak peduli jika nanti Bryan marah atau engsel pintu itu jebol. Intinya, ia ingin menumpahkan segala emosi yang menggumpal di sudut hatinya.

Membanting tubuh di ranjang ukuran king size miliknya─dan milik Bryan, tentu saja─ Je mengatur napasnya yang tersengal karena marah. Ia merasa kecewa. Sudah puluhan kali Bryan mengingkari janjinya untuk kencan. Dulu mungkin karena pekerjaan. Sekarang karena wanita?

Teringat dirinya semalam menunggu Bryan di lokasi syuting dari jam sebelas malam hingga jam dua pagi. Sampai ia terlelap sebentar di salah satu kamar yang berada di sana hingga jam empat. Puluhan pesan dan panggilannya tidak digubris sama sekali oleh kekasihnya itu. Wajar kan kalau dia marah?

(Un)NormalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang