Part 4

966 32 5
                                    

Big Sorry buat kesalahan kemarin. Gue lupa karena udah saking lamanya ini story mangkral di dokumen gue. Oke deh, nggak perlu banyak basa-basi. Semoga suka. Dan jangan protes karena ceritanya mungkin kagak nyambung sama part sebelumnya.

Gue tunggu vomment-nya. Seikhlasnya aja. Karena itu semua mempengarui cepat tidaknya postingan ini. Oke, selamat menikmati.

*ati-ati, typo bertebaran*

gambar di atas, Jeremy Andriano

*

Bryan mendatangi Jenny untuk pertama kalinya setelah semalaman suntuk berpikir dan memeras otaknya. Dan atas kemauan dirinya sendiri. Itupun dengan pertimbangan yang sudah dikiranya beratus-ratus kali.

Menghela napas, lelaki itu mendiamkan dirinya sebentar di dalam mobil sport-nya. Mencoba sekali lagi bertanya pada dirinya sendiri, akankah keputusannya kali ini benar? Disamping karena khawatir terhadap keadaan Laura yang begitu mengejutkannya, juga karena ia tak ingin ada wanita lain yang bernasib sama seperti kakaknya.

Salahkah ia?

Bryan mengusap wajahnya yang kusut. Berkali-kali dibenaknya muncul sosok Jenny dan Laura secara bergantian. Bagaimana takutnya Jenny saat ia menemukannya dalam keadaan setengah telanjang. Bagaimana ngerinya wajah Laura saat menyadari kemarahannya.

Sekali lagi, sosok keduanya muncul begantian di depan mata Bryan. Bayangan mereka semakin cepat terlitas dan pada akhirnya mencapai taraf di mana otak briliannya tak bisa menangkap sosok keduanya. Pening, akhirnya ia memutuskan untuk turun dan menemui Jenny secepatnya.

Setidaknya ia ingin mengurangi rasa bersalah terhadap kakaknya tentang kejadian semalam. Dengan begitu mungkin kakaknya akan kembali seperti semula. Yang ceria, supel dan cerewet. Tidak seperti sekarang yang masih tak mau bertemu dengannya.

Suara ketukan sepatu ketsnya menggema di lorong rumah sakit yang lengang itu. Dengan begitu setidaknya bisa membantunya untuk mengatasi nervous yang menyusup di hatinya, serta menyusun kata untuk membujuk Jenny. Bryan berpikir hingga tak menyadari jalanan di depannya.

BRUKK!!

"Awww.."

"Aduuhhh..."

Dua suara penuh keterkejutan dan sedikit rasa sakit itu sedikit meramaikan lorong itu.

"B..Bryan?" tanya suara lembut itu.

Bryan masih belum sadar dari ketersimaannya saat suara Jenny menegurnya.

"Jenny?"Bryan mengedipkan matanya berkali-kali.

"Iya, ini aku. Kenapa kau ada di sini?" tanyanya.

"Aku...aku sedang menjenguk seseorang," jawab Bryan refleks. Sedetik setelah itu, ia menyadari bahwa langkah yang ia ambil merupakan kesalahan.

"Oh, begitu. Baiklah. Kalau begitu aku pulang dulu ya?" Jenny tersenyum lirih ke arah Bryan sembari menenteng tas travelnya.

"Memang kondisimu sudah membaik?" tanya Bryan sebelum Jenny berlalu dari hadapannya.

"Kurasa sudah. Aku tidak mau berlama-lama di sini dan menjadi beban untuk Laura," Jenny menundukkan kepalanya saat ia menyadari Bryan menatapnya intens.

"Jangan pernah kau berpikir begitu, Jenny. Kakakku ingin agar kondisimu benar-benar baik. aku tak akan mengijinkan dirimu keluar sebelum dokter memastikan bahwa kau benar-benar sudah sehat, secara mental," Bryan menekan kata 'secara mental' dengan tajam.

Jenny mendongak, menatap wajah Bryan yang terlihat datar di depannya. Dengan senyum manis, Jenny menjawab argument Bryan.

"Bryan, aku tidak apa-apa, sungguh. Bukan dokter yang mampu memutuskan apakah mentalku sudah sembuh atau belum. Tapi aku, Bryan. Karena aku yang merasakan. Dan aku yang bisa menilai dan memutuskan apakah mentalku sudah membaik. Lagipula sekarang aku bisa mengontrol diriku sendiri. Aku tidak lagi dihampiri mimpi-mimpi buruk yang menakutkan. Kurasa itu tanda bahwa aku sudah sembuh, bukan?" senyum manis itu bahkan masih belum hilang dari bibirnya.

(Un)NormalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang