[4] Tak Bisa Membencimu

2.3K 1.4K 1.2K
                                    

Sekeras apapun aku ingin membenci, hati ini akan selalu lapang untuk membelamu lagi dan lagi.

Pelajaran terakhir berlangsung tenang. Begitu tenang karena hampir semua murid menampakkan wajah bosan juga lelah yang tak lagi mampu tertahan. Ada yang menopang dagu lesu dan ada yang mulai menguap dengan mata memerah menahan kantuk. Hampir bisa dihitung jari murid-murid yang masih bertahan untuk tetap fokus sambil sesekali mencatat apa yang dikatakan gurunya di tengah godaan suasana yang begitu menjemukan seperti sekarang ini. Dan tentu saja, golongan murid teladan seperti itu bukanlah Shely.

Shely menggeleng keras berupaya melawan kantuknya yang semakin ditahan, malah kian menjadi-jadi. Sebab itu diam-diam ia memilih tidur setengah-setengah. Sesekali matanya menutup, namun cepat-cepat ia buka lagi begitu tersadar, sebentar-sebentar memejam kembali, lalu tersadar lagi. Terlebih lagi saat ini bel pulang telah berbunyi, tapi gurunya masih begitu antusias untuk terus mengajar. Mengesalkan juga rasanya.

Mendadak mata Shely membelalak sempurna, rasa kantuk yang tertahan lesap seketika begitu sosok yang tampak begitu mirip Surya muncul tepat di depan kelasnya. Ia memajukan kepalanya seraya menyipitkan mata, memperhatikan sosok itu lebih jelas, dan benar, orang itu betul Surya. Melihat Surya yang kini malah mengulum senyum-senyum geli menatapnya, entah mengapa firasat Shely mendadak terasa buruk begitu saja.

"Ngapain kamu ke sini?" tanya Shely, menggerakkan mulutnya tanpa mengeluarkan suara.

"Nungguin kamu," jawab Surya tanpa mengeluarkan suara pula.

Tiba-tiba penjelasan dari guru yang tengah mengajar itu terhenti seketika begitu matanya menatap keluar, membuat mata seluruh siswa dalam kelas itu ikut tertuju ke arah di mana Pak guru itu menatap. Semua tatapan mata kini mengarah pada Surya, namun laki-laki itu terlihat biasa-biasa saja seraya mengangkat kedua alisnya bingung, seakan masih tak mengerti apa yang membuatnya jadi pusat perhatian mendadak.

Pak guru itu melangkah mendekati Surya dengan tatapan tegas yang tak kunjung lepas. "Kamu ini anak kelas dua belas kan? Ada urusan apa kamu datang ke sini?"

"Iya Pak, maaf sebelumnya kalau mengganggu. Urusan saya ke sini cuma buat antar Shely pulang Pak," jawab Surya ringan dengan senyum ramah tanpa dosanya.

Mata pak guru itu kini beralih menatap ke arah Shely, tak hanya mata pak guru itu, namun kini semua mata siswa yang berada dalam kelas itu juga ikut menatapnya, tapi dengan tatapan berbeda. Ada yang sambil menyeringai jail, ada yang mengulum senyum geli menggoda, Shely benar-benar tak tahu harus berbuat apa lagi, ia hanya tertunduk pasrah menahan malu karena itu.

Sial, pantesan aja perasaanku dari tadi enggak enak.

Pak guru itu berdeham keras, membuat Shely mendongak seketika. "Jadi bagaimana Shely, sekarang kamu mau pulang atau lanjut pelajaran saya?"

Mau pulanglah Pak. Sahut Shely dalam hati. Dengan cepat ia menggeleng. Sebagai murid yang baik dan patuh pada guru, mana mungkinlah jawaban seperti itu yang akan ia lontarkan. Karena itu ia mengangkat wajahnya pelan-pelan. "Saya masih mau belajar, Pak," sahutnya agak bergetar.

Pak guru itu kembali mendelik menatap Surya tajam. "Kamu dengarkan? Dia masih mau belajar. Ada baiknya kalau kamu pindah dari situ sekarang supaya konsentrasi yang lain tidak ikut terganggu karena kamu!"

Tanpa dosa, lagi-lagi Surya memasang senyum ramahnya. "Iya Pak, kalau begitu saya duluan yah Pak. Terima kasih banyak dan sekali lagi maaf karena sudah mengganggu Bapak," pamitnya menunduk sopan lalu lekas-lekas mengambil langkah cepat meninggalkan kelas itu.

Shely mendengus kesal, masih tak percaya dengan kelakuan Surya barusan. Ya ampun, Sur. Ngapain sih tuh anak? Udah gila apa.

Tak lama berselang, mata pelajaran fisikapun usai juga. Begitu cepat Shely mengemasi barang-barangnya sembari buru-buru beranjak mengambil langkah panjang-panjang keluar dari kelas. Koridor sekolahnya mulai sepi hanya menyisakan segelintir orang, juga teman-teman sekelasnya saja yang masih berlalu-lalang di tengah koridor itu. Ia menggigit bibir cemas, seraya terus mengedarkan pandangannya mencari-cari keberadaan Surya yang sudah tak lagi tampak, entah ke mana.
Shely menghela napas panjang, merasa gusar sendiri layaknya anak hilang. Apa Surya beneran udah pulang duluan yah? Aku enggak punya nomer dia lagi buat dihubungin. Atau aku naik ojek aja yah? Tapi aku 'kan belum hafal alamat dia. Duh, gimana nih?

Knowing You [Terbit] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang