Bag 5

19 5 0
                                    

Varo mengambil kunci mobilnya yang tadi ia simpan diatas meja kecil dekat kasurnya. Ia bergegas pergi keluar rumah dan menjalankan mobilnya menuju rumah sakit tempat abangnya Vio dirawat. 20 menit waktu perjalanan yang digunakan Varo menuju rumah sakit dan ia akhirnya sampai disana. Ia ingat bahwa kamar rawat abangnya Vio nomor 23 jadi ia tak perlu menghubungi Vio lagi untuk menanyakan nya.
"Vio," ucapnya sembari berjalan menuju Vio dan mama Vio. Vio dan mamanya menoleh.

"Eh udah sampe, cepet amat," ucap Vio sambil berdiri.

"Ya kata Nida abang lo sekarat," Varo salaman kepada mamanya Vio.

"Emang lo berteman sama Nida?"

"Iya. Yaudah cepetan, katanya abang lo sekarat."

"Oh. Iya ayo ke dokternya." Vio dan Varo pamit kepada mama Vio untuk mencari dokter yang tadi sore memeriksa abangnya Vio. Mereka akhirnya menemui dokter yang memeriksa abangnya Vio di luar pintu kamar rawat orang lain dan sedang berbincang dengan seorang pria yang memakai pakaian rapi.

"Permisi dok, saya anggota keluarga pasien yang bernama Gifran. Saya sudah menemukan pendonor buat abang saya." Ucap Vio dengan sopan.

"Oh kamu adiknya pasien yang bernama Gifran, sebentar ya saya sedang berbicara dengan orang." Dokter itu melanjutkan perbincangan yang tadi sempat terhenti karena Vio datang. Vio dan Varo duduk di kursi yang berada di depan kamar rawat pasien dan tidak jauh dari dokter yang sedang berbincang itu. Tak ada yang berbicara diantara mereka, dua-dua nya hanya terdiam membisu. Suasana rumah sakit lumayan hening sehingga membuat mereka agak canggung untuk berbicara. "Vi," akhirnya Varo membuka mulut untuk memecah keheningan.

"Ya?" Vio menoleh ke arah laki-laki itu.

"Bokap lo mana? Kok gua gak liat dia tadi sama lo dan mama lo,"

"Oh itu, bokap gua kerja diluar negri. Entah kapan pulangnya, tapi dia janji akan segera pulang,"

"Oh. Dia udah tau tentang abang lo?"

"Udah,"

"Reaksi dia gimana?"

"Awalnya kaget, terus dia bilang ke gua sama nyokap gua. Tenang aja, jangan pikirin yang gak-gak tentang abang gua, dia pasti gak kenapa-kenapa,"

"Lo berapa bersaudara?"

"Tiga,"

"Lo anak ke berapa?"

"Dua,"

"Berarti lo punya adik?" Pertanyaan Varo hanya dibalas dengan anggukan oleh Vio.

"Adik lo mana?"

"Dirumah kayak nya,"

"Kok kayak nya?"

"Ya soalnya dia sering ngelayap pergi entah kemana, terus tadi pas gua pulang sekolah dia gak ada dirumah,"

"Adik lo cowo?"

"Iya,"

"Kelas?"

"Masih SD kelas 6,"

"Seharusnya lo nasehatin dia supaya gak kayak gitu lagi,"

"Susah, udah pernah diomongin sama nyokap-bokap tapi dia masih gitu aja. Apalagi semenjak bokap pergi keluar negri,"

"Cowok ya bandel,"

"Ya walaupun gitu, gua tetep sayang sama dia karena kalo gak ada dia, mungkin gua gak bakal bisa ngobrol sama lo kayak sekarang,"

"Maksud lo?"

Belum sempat Vio menjawab pertanyaan Varo, dokter sudah memanggil mereka.
"Ayo kita ke ruangan untuk mengambil darah." Dokter itu pergi menuju ruangan tersebut yang di ikuti dengan Varo dan Vio dibelakangnya. Setelah sampai di depan pintu ruangan tersebut, dokter menyuruh Varo masuk. Vio hanya menunggu Varo yang sedang diambil darahnya untuk didonorkan kepada abangnya di kursi tunggu. Tak lama, Varo keluar dari ruangan dan menuju Vio yang sedang menunggunya dari tadi.

The Berandal's [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang