Bab 3

102 12 19
                                    

Ayah adalah yang teristimewa di dunia sebab dari keringatnya ia memberi tapak untuk melangkah.

~ Abdurahman Faiz

* * * 

September 1997

Dian. Berumur 18 tahun. Di usia seperti itu, harusnya sudah memiliki impian.

Selama ia sekolah dari SD-SMA, Dian rupanya memiliki kepintaran di atas rata-rata. Dan impian terbesarnya ialah, menjadi seorang Dokter.

* * *

Di meja belajar kamarnya, Dian hanya melamun. Tugas yang diberikan sekolah ialah karangan tentang impian. Namun tidak ada satupun ide di dalam kepalanya. Ia tahu impiannya itu, hanya saja ia tak tahu apa yang ingin ia tulis. Karangan impian itu penting bagi pihak sekolah, karena siapa tahu saja mereka akan melihat perkembangan dari muridnya yang ingin bercita-cita sesuai keinginannya.

Pak Hermawan masuk ke dalam kamar Dian dan melihat anaknya sedang melamun. Ia langsung berjalan dan pelan-pelan memegang pundak anaknya.

"Dian. Sedang apa, nak?"

Dian yang menyadari keberadaan ayahnya itu, langsung merespon ucapan ayahnya.

"Itu... aku dikasih tugas sama guru. Tentang impian. Tapi, aku tidak tahu apa yang akan kutulis di kertas itu."

"Memangnya kamu mau bercita-cita jadi apa?" tanyanya lagi.

"Mau jadi dokter."

Pak Hermawan terdiam sejenak dan menghela napas.

"Nak. Kenapa musti ragu-ragu begitu? 'Kan kamu sudah memiliki impian terbesar. Menjadi dokter. Wah, pekerjaan yang mulia itu, nak." Pak Hermawan membimbing tangan Dian untuk menulis. Karena ia melihat kertas di depan Dian masih kosong. "Nah sekarang, tulis apa yang jadi impianmu. Dan ikuti kata hatimu. Jangan dengarkan hal yang membuatmu tak percaya diri. Mengerti?"

Dian sudah memantapkan diri. "Iya, Pak. Dian mengerti."

Maka dengan penuh konsisten, ia mengerjakan karangan yang disuruh oleh gurunya tersebut. Dan kini ia pun mempermantap dirinya untuk menjadi apa yang dicita-citakannya.

* * * 

Setelah banyak yang ia tulis, ia pun tertidur di meja belajarnya itu. Pak Hermawan masuk kembali ke kamar anaknya. Ia melihat anaknya sedang tertidur di meja belajar.

"Dian, bangun. Dah magrib."

Namun Dian tak peduli, katanya ia mau tidur lagi.

Ayahnya sekali lagi membangunkannya. "Dian. Ayo salat magrib. Sudah jam 6 petang ini yo," ucapnya khas bahasa Jawa.

"Entar, Pak. Masih capek ngerjain tugas."

Namun Pak Hermawan tetap membangunkan anaknya, takut anaknya lupa dengan kewajibannya tersebut.

"Daripada Dian salat sendiri, mending salat berjamaah sama bapak. Ibu juga sudah siap, tinggal nunggu Dian."

Pak Hermawan yang mendesah ketika perintahnya itu tidak didengar oleh anaknya.

"Bapak juga sudah beli ayam penyet. Nanti kamu tidak kebagian loh kalau tak salat magrib."

Dian masih terlelap. Ia punya cara untuk membuat anaknya itu terbangun.

"Kalau tidak salat magrib, Dian nanti tidak kebagian ayam penyet yang bapak beli tadi. Dian bisa makan ayam penyet kalau salat magrib sama bapak."

Mendengar kata makanan, Dian langsung bangun dan bangkit dari meja belajarnya.

"Apa tadi bapak bilang? Makanan?" kata Dian setengah sadar.

"Tuh, ada ayam penyet. Sudah bapak di meja makan. Sekarang, ambil air wudhu dulu. Bapak akan menunggu di ruang keluarga. Kita shalat berjamaah sama-sama."

Pak Hermawan memegang pundak anaknya sembari mengajaknya ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Ibu Widya sudah lebih dulu mengambil air wudhu, tinggal Pak Hermawan dan Dian.

Setelah mengambil air wudhu, Pak Hermawan beserta sekeluarga menunaikan ibadah shalat magrib dengan sangat khusyuk. Pak Hermawan menjadi imam, sementara Ibu Widya dan Dian menjadi makmumnya.

* * *

A Special FatherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang