Bab 2

81 16 12
                                    

Kekecewaan seorang ayah bisa menjadi alat yang sangat kuat.

~ Michael Bergin

* * *

Februari 1993

Saat itu Dian berumur 13 tahun, dan bersekolah di SMP yang tidak jauh dari rumahnya. Dan tepat saat jam pulang sekolah, Dian melihat ayahnya masih melakukan aktivitasnya sebagai seorang petani. Saat ia tahu ayahnya sudah selesai bersawah, ia segera menghampiri ayahnya yang sedang beristirahat di gubuk.

"Bapak!" sapanya dengan ramah.

"Oh, anak bapak. Sudah pulang?"

"Iya, Pak," jawabnya sambil menyalami tangan ayahnya. "Bapak sudah istirahat? Bagaimana aktivitas persawahannya?"

Dian selalu penasaran dengan sawah, ayahnya hanya bisa menjawab seadanya walau ia tak mau anaknya jadi petani.

"Iya, nak. Bapak baru-baru ini dapat modal berlimpah dari hasil panen."

"Alhamdulillah. Bisa beli nasi campur nih." Dian malah menggoda ayahnya untuk beli nasi campur. Syukur-syukur bisa makan nasi campur dua kali dalam sebulan, karena biasa ayahnya tidak pernah mendapat uang banyak karena sesuatu hal.

Pak Hermawan tentu menggoda balik anaknya itu yang sangat suka makanan.

"Aduh, anak bapak ini. Mikir makan terus. Bapak nanti belikan."

"Janji ya. Beliin Dian nasi campur?"

"Bapak janji."

Pak Hermawan menyodorkan jari kelingking untuk diajak janji sama Dian, dan mereka saling berjanji dengan menyatukan jari kelingking masing-masing.

"Sekarang, coba tebak bapak bawa apa yang ada di tangan bapak?"

Pak Hermawan memperlihatkan kepalan tangannya pada anaknya. Mungkin itu isinya uang yang bernominal banyak.

"Pasti uang 'kan?"

Ah benar. Tebakan Pak Hermawan sesuai dari yang diperkirakan Dian. Dan memang benar, itu isinya uang. Bahkan melebihi banyaknya. Biasanya Pak Hermawan membawa uang yang tidak banyak. Namun karena itu keberuntungan, Pak Hermawan membawa uang banyak dan menyenangkan anaknya.

"Beli nasi campur, Pak," saran Dian yang membuat ayahnya langsung tertawa.

"Piye. Anak bapak ini. Makan aja yang kamu tahu," ucapnya tertawa sambil mengelus kepala anaknya. "Baiklah, akan bapak belikan."

"Serius nih, pak? Serius?"

Pak Hermawan mengiyakan dan membuat Dian bersorak senang. Ya tentu saja Pak Hermawan berhasil membuat anaknya senang.

"Ayo, nak. Pulang."

Ayah dan anak pun pergi dari sawah dan berjalan menuju rumahnya dengan penuh kegembiraan.

* * *

A Special FatherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang