"Mas Dian," sahut istrinya sembari membawa kue cheese cake ke ruang utama tempat Dian duduk di situ.
"Mas. Ada apa, kenapa murung?" Istrinya yang bernama Farah memegang wajah suaminya yang memasang ekspresi cemberut.
"Aku... aku teringat Bapak," ucapnya sedih.
"Bapak? Bapak siapa?" tanya istrinya tidak mengerti.
"Mertua kamu," ujarnya jelas.
"Ooh." Farah bermanggut mengerti. "Kenapa dengan beliau? Kamu rindu?"
Dian menghela napas sekali lagi, ketika mengucapkan kata rindu. Rindu? Pastilah. Rindu dengan sosok bernama ayah itu sekarang ini Dian rasakan.
"Pasti aku rindu. Bagaimana keadaan Bapak kini? Bagaimana usaha jahitnya sekarang? Ahh, rasanya ingin membantunya. Tapi hasinya nihil. Mereka tetap ingin melakukannya sendiri."
Farah memegang tangan suaminya dengan lembut. "Mas. Kamu itu bisa, kapan saja, bertemu dengan mereka. Bersedih memandangi foto mereka saja tidak membuahkan hasil apa-apa. Kalau misal... kamu punya waktu cuti... kita sama-sama ke Bandung, ya."
Dian menatap istrinya dari samping, sambil tersenyum. "InsyaAllah, Farah. Kalau Mas ada waktu."
Dian balik memegang tangan istrinya itu sambil tertawa bahagia. Begitu pun istrinya.
"Mas. Makanlah cheese cake ini. Ini khusus buatmu."
"Iya. Kamu mau membuat suamimu ini gendut," ucap Dian terkekeh.
"Tapi Mas punya tubuh yang bagus. Mana mungkin gendut?" Farah tertawa sendiri mengucapkan kata yang mengandung candaan itu.
"Ya sudah Mas. Makan saja. Jangan takut gendut."
"Iya, Farahku sayang."
* * *
Agustus 2003
Setelah menjalani masa koas selama 2,5 tahun, akhirnya Dian pun mendapat gelar dokter umum. Membaca sumpah dokter di sebuah gedung membuat Dian merinding. Membaca sumpah terasa membaca janji yang tak boleh diingkari.
Saat pembacaan sumpah itu, hanya ada Ibu Widya yang hadir dalam acara itu. Pak Hermawan berhalangan hadir karena kecelakaan yang dialaminya tahun 2002.
Ibu Widya terharu melihat anaknya sudah bergelar "dr.". Itu artinya, anaknya sudah resmi menjadi dokter setelah tahun 1998 masuk kuliah kedokteran.
Segera setelah pembacaan sumpah dokter itu, Ibu Widya langsung menghampiri anaknya yang memakai baju kotak-kotak berwarna merah hitam. Dian terkejut ketika tahu hanya ibunya saja yang datang, tidak bersama bapaknya.
"Bapak mana, Bu?" tanyanya langsung.
"Bapak di Bandung, tidak sempat melihatmu membacakan sumpah dokter. Tapi bapakmu tahu kamu sudah bergelar dokter."
"Jadi, bagaimana keadaan bapak sekarang?" Dian khawatir dengan kondisi ayahnya kini.
"Seperti yang ibu tahu, bapakmu masih tidak sehat. Jadi dia belum bisa bergerak ke mana pun."
"Tapi, Bu..."
Ibu Widya menyuruh anaknya untuk diam saja. Karena semakin ia menggalinya, maka ia pun akan jatuh juga. Ibu Widya tidak ingin anaknya menyusahkan Pak Hermawan dan juga dirinya. Dian tak perlu repot-repot mengurus Pak Hermawan dan dirinya. Karena takut kesalahan fatal akan terulang lagi pada anaknya.
Ibu Widya memberikan saran. "Sebaiknya fokuslah pada tahap selanjutnya. Ibu dan ayah tidak apa-apa."
Dian tentu tak menerima hal ini, dan hanya bisa memegang tangan ibunya.
"Ibu, Dian ingin mengganti semua jasa yang telah diberikan oleh ayah dan ibu."
Ibu Widya menghapus air mata anaknya yang selalu berderai. "Nak, itu sudah jadi kewajiban kami sebagai orang tua. Kami hanya ingin melihat anak kami sukses. Dan ini setidaknya sudah membuat kami bangga."
Dian mengangguk paham dengan saran ibunya. Mereka pun saling berpelukan setelah itu. Dan Dian merasa ini adalah pelukan terakhir bersama ibunya sebelum dia menjalani tugas intership di rumah sakit sebagai dokter umum.
"Aku sayang pada bapak, atau aku tidak sayang pada bapak, belum aku ketahui. Yang jelas, kerinduanku pada bapak masih terbekas di hatiku. Dan membuatku ingin bertemu dengannya."
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
A Special Father
Fiction générale[ON HOLD/PENDING] * * * Hermawan. Ayah yang dipanggil "Bapak" oleh Dian, putra tunggalnya. Dian Hermawan, seorang anak papa. Menjadi anak papa rasanya hanya sebentar. Saat ia hampir beranjak dewasa, ia harus meninggalkan kampung halaman demi merant...