Prolog

124 31 31
                                    

Seorang dokter berjalan di sekitar trotoar pusat kota Jakarta Selatan. Ia melirik jam tangannya sebentar dan menyadari kalau ia sudah harus ke rumah sakit tepat pukul 10 pagi. Maka, ia pun mempercepat langkahnya menuju tempat yang dituju.

Dokter yang bernama Dian Hermawan itu hampir berhasil menuju rumah sakit tempatnya bekerja. Sampai akhirnya ia melihat pengemis tua yang sedang meronta-ronta sambil mengadahkan tangan kanannya ke atas. Pengemis berbaju kotor itu mencoba meminta uang atau hal lainnya di jalanan depan halaman rumah sakit Mitra Utama. Ia terus mengemis berharap mendapatkan sesuatu dari mereka.

"Pak. Minta makan. Sudah 2 hari tidak makan."

Ucapan pengemis itu membuat hati Dian luluh dan ingin memberikan sesuatu pada pengemis itu. Dian mengecek sesuatu di tas genggaman tangannya, berharap ada sesuatu yang bisa diberikan.

Dan akhirnya, ia memiliki sisa uang sebesar 20 ribu rupiah. Ia berjalan mendekati pengemis itu dan menurunkan tubuhnya untuk berinteraksi kepada pengemis itu.

"Pak. Ini uang yang saya berikan pada Bapak. Semoga cukup untuk membeli makanan." Dian menaruh uang itu ke wadah gayung milik pengemis itu.

Pengemis itu mengucapkan terima kasih pada Dian dan ia tidak henti-hentinya mencium tangan kanan Dian hingga beberapa kali.

"Terima kasih, Nak. Terima kasih. Semoga pahala dilipatgandakan oleh Allah. Dan rejeki dilancarkan."

"Aamiin. Terima kasih, Pak." Dian tersenyum pada pengemis tua itu, kemudian Dian memegang pundak bapak itu, ingin berbagi cerita. "Kenapa Bapak mengemis? Bukankah di mana-mana ada pekerjaan yang cocok buat Bapak? Saya lihat, Bapak bisa segalanya dalam hal pekerjaan."

Mendengar pertanyaan yang dilontarkan Dian, pengemis tua itu justru mengeluarkan air matanya. Ia tidak bisa berkata-kata, ditanya hal seperti itu. Yang kedengarannya begitu menyakitkan.

"Bapak... bapak... ditelantarkan oleh anak-anak Bapak." Ia bicara dengan jujur sambil menundukkan kepalanya, menangis.

"Kenapa bisa?" tanya Dian lagi.

"Katanya, bapak terlalu tua dan selalu meresahkan mereka. Mereka tidak suka bapak ada di antara mereka, bikin malu katanya punya bapak seperti itu. Tua dan sudah tidak tahu apa-apa lagi."

Pengemis itu sekali lagi menangis. Dian mencoba menenangkannya lalu ia memberikan tisu untuk menyeka air matanya.

"Jangan menangis ya, Pak. Saya hanya berharap bapak tabah. Toh, pada akhirnya mereka juga membutuhkan bapak. Mereka mungkin menyesal membuang bapak ke jalan. Jadi, bapak berdo'a semoga anak-anak bapak bisa menyadari kesalahan mereka dan datang menghampiri bapak lalu meminta maaf atas kesalahan mereka."

Pengemis itu mengucapkan syukur sekali lagi pada Dian, yang mungkin ini pertolongan pertama baginya setelah lelah seharian mengemis.

"Baiklah. Saya harus pergi dulu, karena ada tugas yang harus saya jalani."

Pengemis itu mengangguk, dan Dian pun pergi jauh dari tempat itu.

Sejenak Dian menghentikan lagi langkahnya dan teringat sesuatu.

Dian memiliki seorang ayah yang kini hanya tinggal di rumahnya di Bandung, Jawa Barat. Tepatnya di desa Karanganyar. Namun karena tugas dan dedikasinya itu, ia tidak bisa pergi ke kampungnya itu hanya demi menengok sang ayah.

Melihat pengemis yang tadi ditemuinya, membuat Dian teringat pada ayahnya yang hanya bisa duduk dan membuat rajutan seperti para orang tua lainnya. Entah sudah berapa lama ia tak bertemu dengan ayahnya. Dan kini ia tidak tahu lagi bagaimana keadaan ayahnya sekarang.

"Bapak, bagaimana keadaan bapak sekarang?" gumamnya di dalam hati.

* * *

A Special FatherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang