BUNYI apa itu?
Tara mengerang pelan dan menarik selimut menutupi kepala, tapi samar-samar masih terdengar bunyi berisik seperti sirene yang meraung-raung. Awalnya ia memilih mengabaikan bunyi itu, tetapi lama-kelamaan ia merasa terganggu juga. Dengan mata yang masih terpejam ia mengulurkan tangan ke meja kecil di samping tempat tidur dan mulai meraba-raba. Pertama-tama ia meraih ponselnya.
"Ahhh... lo?" gumamnya dengan kening berkerut dan mata tetap terpejam.
Bunyi itu masih terdengar. Oh, ia lupa....
"Allô?" gumamnya sekali lagi setelah menekan tombol "Jawab".
Bunyi itu masih tetap terdengar. Tara mendecakkan lidah dan menjatuhkan ponselnya ke lantai. Setelah itu ia mengulurkan tangan sekali lagi dan meraba-raba. Tangannya menemukan sebuah beker kecil. Ternyata benda itu yang berbunyi nyaring dan bergetar dengan hebatnya sampai hampir meloncat dari genggamannya. Ia mematikan alarm beker dan damailah dunia. Karena malas mengembalikan beker ke meja, ia melemparkan benda itu ke lantai. Semua itu dilakukannya tanpa sekali pun membuka mata. Sekarang ia kembali meringkuk dengan nyaman di balik selimut.
* * *
Bunyi apa lagi itu?
Tara meraih bantal dan menutup kepalanya, berharap bunyi itu segera berhenti. Tapi ternyata bunyi itu sanggup menembus bantal dan sampai di telinganya. Ia melempar bantal ke samping, menendang selimut dan mengerang kesal.
Demi Tuhan! Hari ini hari Minggu! Kenapa tidak ada kedamaian sedikit pun?
Ia mendecakkan lidah dan menjulurkan tangan ke meja di samping tempat tidur. Ia meraba-raba, tetapi tidak ada apa-apa di sana. Walaupun masih setengah sadar, ia teringat barang-barang yang tadinya ada di meja kini tergeletak di lantai. Ia bersusah payah membuka mata yang seakan direkat dengan lem superkuat dan mencondongkan tubuh ke tepi tempat tidur, berusaha meraih ponselnya yang berbunyi nyaring. Ia masih tidak sudi bangun dari tempat tidur, karenanya ia agak kesulitan menggapai ponselnya. Akhirnya setelah memanjang-manjangkan badan dan tangan, ia berhasil menggapai benda berisik itu.
Masih dengan posisi setengah tergantung di ujung tempat tidur, Tara menempelkan ponsel ke telinga. "Ahhhlo?" katanya dengan suara serak.
"Ma chérie, kau masih tidur?" Suara ayahnya yang secerah matahari terdengar di ujung sana.
"Papa?" tanya Tara sambil mengerutkan kening. "Kenapa Papa telepon pagi buta begini? Papa kan tahu kalau aku—Wuaaa!"
"Apa itu? Kau jatuh, ma chérie?" tanya ayahnya kaget.
Tara cepat-cepat meraih ponselnya yang terlepas dari tangannya ketika ia jatuh dari tempat tidur. "Tidak. Aku tidak apa-apa," katanya pendek, lalu berdeham. Kantuknya langsung hilang begitu kepalanya membentur karpet di lantai. Ia duduk bersila di lantai dan bertanya sekali lagi, "Kenapa Papa menelepon pagi buta begini?"
"Oh, sebenarnya Papa tahu kebiasaan burukmu yang tidak mau bangun dari tempat tidur sebelum jam dua belas siang di hari Minggu, tapi Papa butuh bantuanmu," jelas ayahnya dengan nada resmi, seakan hendak mengatakan kalau Tara akan melakukan tugas mulia bagi negara. "Mobil Papa rusak, sedangkan Papa ada janji penting jam setengah sebelas nanti. Antarkan Papa, ya?"
Tara tersentak dan mengerjap-ngerjapkan mata. Jam 10.30? Bukankah ia sendiri punya janji dengan Tatsuya jam 10.00? Sekarang jam berapa?
Tara mencari-cari beker yang tadi dilemparnya ke lantai. Ke mana jam itu sekarang? "Papa! Sekarang jam berapa?" serunya.
"Tidak perlu teriak-teriak. Papa belum tuli," gerutu ayahnya. "Sekarang jam... setengah sepuluh."
"Astaga! Aku terlambat!" Tara meloncat berdiri dan berlari ke lemari pakaiannya.
"Allô?" Ayahnya agak heran mendengar bunyi gaduh ketika Tara tersandung karpet dan nyaris jatuh untuk kedua kalinya.
"Papa, aku juga punya janji jam sepuluh," potong Tara cepat sambil mengobrak-abrik isi lemari. "Papa naik Métro saja, ya?"
Sebenarnya ia tahu ayahnya tidak pernah suka naik Métro, bus, kereta api, atau transportasi umum apa pun, kecuali pesawat terbang. Kata ayahnya, ia tidak suka berdesak-desakan dengan orang lain.
"Kau mau ke mana?" ayahnya balas bertanya.
Tara memberitahu ayahnya.
"Tidak masalah. Papa memang mau ke daerah di dekat situ," kata ayahnya setelah berpikir sejenak. "Jemput Papa di rumah, ya? Oh ya, ma chérie, jangan pernah menyarankan agar Papa naik Métro lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
AUTUMN IN LOVE
RomanceJALANAN sepi. Langit gelap. Angin musim gugur bertiup kencang. Ia merapatkan jaket yang dikenakannya, namun tubuhnya tetap saja menggigil. Bukan karena angin, karena saat ini ia sama sekali tidak bisa merasakan apa pun. Sepertinya saraf-sarafnya sud...