"Berapa lama?" Suara itu memecahkan lamunan Anna yang melamun sedari tadi. Entah apa yang dipikirkan olehnya hingga ia terlihat begitu pucat. Bibir penuhnya terlihat kering, mata bulat yang biasanya memancarkan keceriaan kini sayu dan menampakkan kelelahan, kulitnya kusam dan pucat."Entahlah Kin. Mungkin satu bulan? Dua bulan? Atau bahkan tiga bulan. Aku tak habis fikir soal ini. Semuanya begitu... tiba-tiba." Kata Anna sambil menatap dalam mata Kintan. Ada rasa khawatir di sana. Cemas, atau bahkan takut.
"Dengar Anna, aku bukan dokter, tapi aku yakin ibumu akan sembuh dalam waktu yang sangat cepat. Kita semua tahu ibumu bukan seorang penyakitan. Kintan mencoba meyakinkan saudara tidak sekandungnya itu. Namun, sejujurnya Kintan tahu penyakit yang mereka bicarakan bukanlah penyakit yang mudah disembuhkan. Tapi lagi-lagi, ia harus berbohong hanya untuk menenangkan hati Anna.
"Kau tahu Kin, aku mungkin bukan seorang anak yang baik, tetapi aku tak bisa seperti ini. Ibuku, satu-satunya orang yang tak pernah menyakitiku. Kau tahu maksudku kan?" Kintan hanya mengangguk sambil berpikir apa yang dimaksud Anna. Otaknya tak dapat mencerna semua perkataan Anna barusan, tapi ia juga tak mau menanyakan hal itu. Takut jika itu memperburuk suasana hati Anna.
***
"Bagaimana bu hasilnya?" Sepulang sekolah Anna langsung menemui ibunya yang sedang memasak di dapur. Bahkan Anna sangat amat bingung, bukankah ibunya sakit parah? Mengapa ibu masih bisa memasak?
"Haha, kenapa tegang sekali anakku? Ibu hanya darah tinggi bukan hal yang berbahaya." Tidak berbahaya? Ah tentu, ibu mana yang akan bilang bahwa ia memiliki penyakit yang berbahaya. Meskipun, memang benar adanya ibu hanya darah tinggi.
Anna sedikit kesal dengan kata-kata ibunya barusan. Bukan, ia tak marah kepada ibunya, ia marah mengapa penyakit itu tidak berbahaya dimata ibunya? "Bu, aku tahu ini sering terjadi, tapi tetap saja darah tinggi termasuk penyakit yang berbahaya. Dan sekarang coba lihat, apa yang ibu lakukan? Memasak? Bu, Ibu sudah meninggalkanku sendirian dirumah saat aku kelas 2 SD. Tak ada yang perlu ibu khawatirkan. Terutama soal memasak. Aku butuh ibu untuk istirahat. Ibu tahu kenapa? Karena aku menyangimu bu. Pahamilah, dan tolonglah jaga kesehatanmu." Anna menarik nafas panjang setelah mengatakan itu. Hatinya lelah. Ia ingin ibunya berhenti bekerja, namun ia tahu itu hal yang mustahil jika masih ada Ayahnya dirumah.
"Kapan kakakmu pulang?" Inilah kebiasaan ibu, mengalihkan pembicaraan. Anna hanya menggeleng kemudian menjawab "Jam 5. Ada tambahan jam dikampus." Ibu ber-oh- ria.
Anna mengambil air putih yang berada diatas meja makan kayu yang sederhana dengan ukiran batik. Ya, mereka keluarga sederhana. Atau bisa dibilang 'sangat' sederhana. Perabotan rumah pun, adalah warisan dari sang nenek. Ada banyak obat-obatan diatas meja. Hatinya terasa tercubit melihat ini. Baru saja ia ingin menanyakan hal ini kepada ibunya. Namun, lidahnya terasa kelu ketika mendengar suara benda dibanting dari arah kamar. Ya, siapa lagi kalau bukan ayahnya.
"Bedebah! Kau istri tak tau diri!"
Ini sering terjadi. Anna hanya memejamkan matanya menahan tangisan. Ia tahu hidupnya hanya akan seperti ini. Ia juga tak berharap lebih, yang ia inginkan hanya ketenangan.
****
Halaman 1
2017