"Jadi, apa yang kau lakukan dimalam hari di tempat tadi?" Delvin menghela napas panjang sebelum menanyakan hal itu sekali lagi. Berharap Anna akan menjawab dengan jawaban yang benar. Jujur saja, sedari tadi ia melontarkan pertanyaan kepada Anna tidak ada hasilnya. Maksudnya, tidak satu pun pertanyaannya terjawab dengan benar dan masuk akal. Bagi Delvin, jawaban-jawaban yang Anna berikan kepadanya hanyalah isi kepala Anna yang sebenarnya ia pun ragu ada isinya atau tidak.
Anna tersenyum ragu, matanya tetap terarah ke depan tanpa berniat memalingkannya. Terdengar helaan napas yang dari hidung pendek Anna, "Aku tidak tahu, bahkan tujuan hidupku saja aku tidak pernah tahu. Kau tidak lelah?" Anna menolehkan wajahnya kearah Delvin.
Hening. Suara Delvin sama sekali tidak keluar. Sebenarnya Anna bingung, mengapa Delvin diam? Apa pertanyaannya salah? Apa Delvin tak mendengar? Apa pertanyaannya ambigu? Percuma saja menunggu jawabannya, pikir Anna. Anna kembali menatap ke depan. Ia lebih memilih memperhatikan lampu-lampu jalan yang tinggi, merasakan angin dingin yang tidak begitu menusuk, udara malam yang segar, mengamati pohon-pohon di pinggir jalan yang tertata rapi. Anna selalu memperhatikan setiap pohon dengan teliti, kalau-kalau ada makhluk tak kasat mata sedang berdiri di sana. Membayangkan hal itu Anna merinding, tidak habis pikir ia dengan beraninya melewati jalan ini sendirian tadi.
Anna tersadar saat melihat rumahnya yang berada di sebelah kiri jalan. Sudah sampai. Ya, Anna memang tinggal disebuah perumahan yang lumayan mewah. Tapi, tentu rumah itu bukan rumahnya. Rumah tua dengan cat putih yang memudar sehingga menampakkan warna kehijau-hijauan dari lumut, atap berwarna merah kehitaman akibat lembab, dan tentunya pagar hijau muda yang berkarat. Meskipun faktanya rumah ini tidak cukup enak untuk dipandang, Anna tetap bersyukur. Setidaknya, ayah atau ibunya tidak perlu mengeluarkan uang bulanan untuk membayar uang sewa. Baginya, semua ini lebih dari cukup.
"Ini rumahmu?" Akhirnya suara Delvin muncul lagi.
Langkah Delvin ikut terhenti saat melihat Anna berhenti. Senyum manis Delvin kembali muncul. Rasanya senyum itu adalah senyum terbaiknya. Delvin pun sebenarnya heran apa tujuannya memberikan senyum terbaiknya kepada seorang gadis yang baru saja ia ajak berbincang.
"Hmm, iya ini rumahku. Terimakasih sudah mengantarku pulang, Delvin." Pandangan Anna terlihat tidak fokus. Apa yang dipikirkan Anna?
Delvin masih mengamati pandangan Anna yang membuatnya penasaran. Anna seperti mencari-cari sesuatu di rumahnya sendiri. Jujur saja, Delvin merasa sedikit khawatir melihat Anna yang seperti ini.
"Masuklah, aku tidak mengantarmu. Aku hanya menemanimu berjalan dimalam hari. Pastikan ini tidak terjadi lagi, oke?" Delvin memiringkan kepalanya hanya untuk menatap lurus kemata Anna.
"Hah? Oh, Oke. Mungkin. Aku tak tahu, bisa jadi hari ini aku meng-iyakan apa katamu, tapi besok aku tak memperdulikan itu lagi," Kata Anna dengan jujur dan cepat. Cara Anna berbicara memang sering menyebabkan terjadinya kesalah pahaman. Orang mungkin akan berpikir Anna adalah sosok yang dingin, namun tidak. Ia hanya tidak bisa mengekspresikan semuanya dengan benar.
Delvin kembali tersenyum mendengar kalimat yang terlontar dari mulut Anna. Delvin mengerti 'jenis' perempuan seperti Anna memang begitu, terlihat dingin untuk melindungi dirinya sendiri dari hal-hal yang tidak ia inginkan. Yaitu, mendapatkan perhatian dari lelaki tampan. Whoaaa percaya diri sekali Delvin.
Anna segera mengambil langkah untuk membuka pagar rumah tuanya itu. Ia berhenti sejenak, "Hati-hati, ini sudah malam," Kata Anna. Ia membuka pagarnya tanpa menoleh kearah Delvin berada. Lalu melangkahkan kakinya ke pintu rumah. Sejenak ia berhenti kembali, menoleh kearah Delvin. Sudah tidak ada. Cepat sekali, batin Anna.
Tangannya membuka pintu rumahnya, suasana mencekam kembali terasa dihatinya. Rasanya jantungnya berdegup dengan kencang, kakinya lemas, perutnya terasa seperti memproses sesuatu untuk keluar, entah apa itu. Ketakutan terhadap situasi rumah memang hampir setiap hari dirasakannya. Baru satu langkah ia masuk terdengar suara yang sangat tidak asing,
"Kemana saja kau? Pergi semalam ini? Lupa jika ibu sedang sakit?" Terdengar helaan napas dari orang yang sedang berbicara kepada Anna, "Masuklah, ibu pingsan" ucapan itu terdengar lirih namun mampu membuat Anna tercekat.
Udara di sekitar Anna sudah tidak terasa, kepalanya bukan hanya pening, begitu ringan, seperti tidak ada di tempat.
Anna memasuki kamar ibunya dengan napas masih tersengal-sengal. Rasa panik yang berlebihan membuat Anna lupa segalanya, rasanya ia ingin menangis, namun ia tahu air mata tidak akan semudah itu keluar. Hatinya terasa kosong, seperti ada lubang besar di sana. Semuanya sesak, perih, dan tak beraturan.
Kaki Anna perlahan tertekuk di samping kasur putih buruk tempat ibunya beristirahat saat ini. Ia mengambil tangan ibunya untuk didekap dengan erat di dadanya. Perlahan dikecupnya kening ibu tercinta.
"An.. Anna, kau sudah pulang?" Mata ibu mulai terbuka perlahan, meskipun kesadarannya masih di ujung tanduk.
"Ya bu, iya. Aku sudah pulang"
"Dengarkan ibu nak, ibu tahu, mungkin ini bukan waktu yang tepat untuk mengatakannya ta-"
"Tidak bisakah ibu membicarakannya nanti?"
"Tidak! Sekalipun ibu memiliki banyak waktu, ibu harus mengatakannya. Ini mungkin bukan hal yang penting untuk dikatakan, namun ibu rasa kau harus tahu. Sebelumnya, berjanjilah untuk menyimpannya sendiri, mengerti?"
Anna menganggukkan kepalanya, tanda bahwa ia mengerti.
"Ibu, akan meninggalkan kalian"
*****
22 Juli 2017