2 (Bertemu)

60 6 0
                                    

Anna lelah. Satu kata yang seharusnya fatal untuk dipikirkan. Bukankah Tuhan telah berjanji bahwa disetiap kesulitan pasti ada kemudahan? Namun dengan lancangnya Anna berpikir bahwa kesulitan yang dihadapinya tidak akan pernah menemukan kemudahannya. Sesaat ia sadar bahwa kesedihannya tak akan menyelesaikan apapun, atau kasarnya tak berguna.

Kakinya terus melangkah tanpa tujuan. Awalnya niat Anna hanya pergi ke toko obat disekitar rumah untuk ibunya yang sedang demam. Tapi beginilah Anna, udara malam membuatnya kecanduan. Akhirnya ia memutuskan untuk ke taman dekat dengan rumahnya. Sebenarnya jaraknya lumayan jauh, kira-kira 300m dari rumahnya. Hati yang tak menentu membuat perjalanannya terasa sangat sebentar. Sedangkan, di rumah mungkin ibunya telah khawatir akan kepergian anaknya yang terlalu lama.

Ia duduk dipinggir sungai yang sepi. Oh, ini bukan taman, melainkan hanya sebuah sunga kecil dengan pembatas menjadi tempat yang diduduki oleh Anna saat ini. D iseberang sungai terdapat pemukiman warga yang padat. Inilah Indonesia, dimana tempat tinggalpun berada di pinggir sungai. Entah mengapa, pemandangan ini membuat Anna tenang, cahaya di seberang sungai yang berasal dari pemukiman warga, pepohonan yang disekitarnya, dan yang paling ia sukai adalah cahaya yang memantul ke bawah tepat ke air sungai yang tenang.

Sejenak ia berpikir bahwa ia harus kembali, namun memori-memori pahit siang tadi, terulang-ulang dikepalanya. "Aku tahu persis apa yang kau pikirkan. Kau berpikir bahwa aku dan anak-anak adalah beban," suara ibu terdengar begitu dalam. Begtiu kecewa, "Tahu apa kau? Aku mungkin tak berpenghasilan banyak, namun bukan berarti aku tak menyayangi anak-anakku. Ini hanya begitu sulit untukku, menjalani pernikahan yang kita pertahankan 25 tahun ini tanpa ada cinta lagi di dalamnya. Maksudku, e..k-kau mengerti maksudku bukan? Aku sudah tak mencintaimu lagi. Rasanya semua yang kau lakukan salah dimataku. Aku tidak pernah menginginkan hal seperti ini, namun hatiku berkata lain. SIAAL!!! Ini membuatku muak! Melihat anak-anak begitu dekat denganmu, mereka selalu memilihmu, membelamu. Aku? Ah, bahkan melihat wajahku merekapun tak pernah sudi. Apa? Apa yang telah kau tanamkan dalam pikiran mereka? Aku pemabuk? Aku penjudi? Kau begitu munafik! Kau jalang! Kau merebut anak-anakku! Seumur hidupku mulai sekarang aku tak akan pernah menganggapmu sebagai striku. Cih, melihat wajahmu saja aku jijik!" suara bantingan pintu terdengar lagi.

Hati Anna tercubit mengingat kejadian beberapa jam yang lalu. Disatu sisi, ia yakin  ayahnya memang mencintainya. Namun, disisi yang lain ia tak pernah suka jika ibunya terluka. Anna menghirup nafas dalam-dalam sambil memejamkan matanya. Tiba-tiba terdengar suara yang ia kenal, tidak terlalu kenal, namun familiar, "Anna Rawnie Adora. Ah, untuk pertama kalinya aku menyebut nama lengkapmu langsung di hadapanmu. Rawnie Adora, gadis yang tercinta. Apa aku benar?" Anna menoleh dan sedikit terkejut melihat wajah tampan di depannya. Mata cokelat cerah, hidung kecil yang tinngi, bulu mata yang melambai-terlalu lentik untuk laki-laki, bibir pink yang tidak tipis dan tidak tebal, rahang yang keras, dan tentu bagian terbaik adalah rambut. Rambut yang terlihat halus, dan berdiri ke atas. Apa nama model rambut itu? Oh Anna hampir mengumpat karena terpesona.

Bukan pertama kalinya ia melihat Delvin Ardana Abiputra, namun melihat dari jarak dekat seperti ini adalah pertama kalinya. Dan ia sangat-sangat terpesona. Entah harus berapa kali ia mengatakannya di dalam hati, tetap saja ia terpesona. "Delvin Ardana Abiputra, lidahku sedikit kelu mengucapkan namamu. Apa yang kau lakukan disini?" Tanya Anna dengan wajah datar. Bukan, bukannya Anna bersikap jual mahal, congkak, sombong, atau apapun itu. Memang itulah wajah Anna, "Whoa, tidakkah wajahmu terlalu datar? Dan, seharusnya aku yang bertanya apa yang kau lakukan disini? Dimalam hari? Seorang diri?" Delvin langsung mengambil posisi tepat di samping Anna. Sial! Batin Anna, saat dudukpun lelaki ini begitu tampan. Sangat mempesona. Ia mengulangi kata-kata itu lagi dihatinya. "Hm, aku tak tahu mengapa wajahku begini. Aku di sini karena ingin, dan aku sendiri karena tak ada yang menemani," Delvin melirik Anna sebentar, kemudian terkekeh.

"Oke, aku akan menemanimu, lagipula aku sedang bosan" Anna hanya mengangguk lalu diam dan menatap lurus ke depan. Tiba-tiba ia bangun dengan wajah panik setengah mati, "Astaga jam berapa ini?!" lelaki yang sedari tadi duduk di sampingnya pun terkejut bukan main, karena suara Anna yang melengking.

"Jam 9. Kenapa?" Tanya Delvin dengan bingung, "aku harus pulang! Aku sudah keluar satu jam setengah. Ibuku pasti khawatir. Kalau begitu, aku pergi dulu, sampai jumpa di sekolah!" Anna melambaikan tangannya kearah Delvin sambil berlari kecil. Baru tiga langkah dilalui oleh Anna suara Delvin kembali terdengar, "Anna, berhenti! Aku akan mengantarmu," kata Delvin sambil tersenyum. Anna langsung berhenti dan membalikkan tubuhnya, kedua alisnya bertemu bingung dengan kalimat yang diucapkan oleh Delvin barusan.

Delvin berjalan mendekati Anna, senyumnya masih ada di wajah manisnya itu. Mata yang indah, batin Anna. "Ayo tidak baik perempuan jalan sendirian"

-08 Juli 2017-

Anna & DelvinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang