Kita bagaikan musim dingin dan musim panas, tak mungkin bersama namun selalu beriringan datangnya. Kau dan aku bagaikan matahari dan bulan yang bahkan tak dapat bertemu dan datang berlawanan, kau siang dan aku malam. Segamblang itu. Sejelas itu.
Kau tahu? Bukan sekali dua kali aku merasakan ini. Aku berteman dengan rasa sakit karenamu. Aku mengenal rasa kecewa karenamu. Aku memahami arti menunggupun karenamu. Bukan salahmu memang, hanya saja salahku yang tak ingin terbaca olehmu. Tak ingin terjamah oleh matamu. Aku yang sengaja melarikan diri. Salahkan aku yang terlalu pengecut sampai tak berani untuk sekedar menatap matamu atau bahkan seinci saja dari kakimu.
Semuanya berawal dari saat itu. Dikala musim dingin baru saja menjamah muka bumi ini, saat semua orang tertidur lelap dirumah mereka masing-masing menikmati musim dingin dengan secangkir kopi ataupun ditemani hangatnya perapian. Pertama kalinya aku melihatmu, kau yang dibalut jas hitam dan celana berwarna senada. Kau berjalan ke arahku, kau yang akan menjadi rekan kerjaku saat ini. Siapa yang tahu ternyata kau juga yang hingga kini menghinggapi otakku yang telah lama usang tak ku gunakan untuk memikirkan orang lain selain diriku sendiri?
Aku dengan berbagai pemikiran rasionalku dipertemukan denganmu yang memiliki pemikiran jauh berbeda dengan diriku, awalnya memang aku agak kesulitan menyamai diriku dengan dirimu. Aku yang terkenal dengan sosok yang egois dan tak mau mengalah, entah mengapa jatuh dihadapanmu. Lisanku bahkan tak banyak menolak apa yang kau ajukan dan bicarakan, ekor mataku dan henti-hentinya melihat segala kepiawaianmu menunjukan bakatmu. Aku seorang pemilih? Tentu saja, selama ini siapa yang tak tahu seorang Moon Chaewon, seorang penulis yang kini sedang didera kepopulerannya, semua orang mengetahui aku, karyaku. Mereka mengelu-elukan namaku, mengatakan bahwa aku memiliki gaya penulisan yang sangat indah dan meluluhkan hati, namun kemana perginya moon chaewon sang penulis hebat itu? Kini aku hanya bagaikan seonggok daging tanpa tulang yang kehabisan kata-kata melihat seorang laki-laki tampan di depanku ini. Kami berjabat tangan kedua kalinya, setelah yang pertama kami berkenalan beberapa belas menit yang lalu. Lalu kini kami bersalaman kembali untuk mengesahkan kerja sama kita. Aneh memang, hanya sekedar jabat tangan namun mampu membuat ku meraskaan getaran yang belum pernah aku rasakan selama 29 tahun aku hidup didunia ini. Membuat efek candu didiriku sendiri, aku bahkan tak dapat menolak bibirku yang ingin melengkung keatas, tersenyum.
Kami bekerja untuk waktu yang singkat. Ia seorang seniman, seorang gitaris yang baru menjamah ke layar kaca. Kepiawaiannya memetik senar gitar membuatku menganga dan tak dapat mengerjapkan mata. Aku telah jatuh, jatuh hati untuknya dan jatuh hati mendengar alunan yang terdengar dari gitar nya. Saat itu, ia mendapat tawaran untuk ikut bergabung dalam tim pembuat soundtrack sebuah drama, dan aku didapuk untuk menjadi penulis naskah drama tersebut, sebuah keputusan yang aku ambil, untuk melihat sejauh mana kemampuanku dalam menulis. Ia butuh kata-kata dari sajakku untuk melengkapi alunan indah musiknya. Kami bekerja sama hanya dalam waktu sebulan, selain itu kita jarang sekali bertemu. Ia sibuk dengan pekerjaannya yang baru saja masuk kedalam dunia hiburan. Dan aku disibukkan dengan penulisan naskah tersebut. Aku bahkan tak sempat meminta nomor teleponnya untuk sekedar mengirimin pesan sekali dua kali.
Kami dipertemukan kembali saat acara malam terakhir pembuatan drama tersebut, aku yang datang dengan doa untuk sekedar bertemu dengannya akhirnya terkabul, karena dua jam setelah acara ini dimulai ia datang dengan seorang laki-laki yang baru pertaama kali aku lihat wajahnya. Ternyata laki-laki itu adalah managernya, aku turut bahagia melihat kesuksesannya yang mulai menanjak naik. Ia tersenyum setiap kru maupun orang-orang yang terlibat dalam pembuatan drama, memujinya. Aku hanya tersenyum saat tatapan mata kami bertemu, rasanya ingin sekali aku memujinya seperti orang-orang yang lain namun apa daya lidahku saja kelu setiap kali melihat wajahnya. Aku ingin sekali berlari ke hadapannya yang berada jauh dari tempatku duduk, namun kaki ku saja bahkan terlalu lemah karena melihat senyuman di wajahnya itu. Kami hanya tersenyum untuk beberapa detik, ralat, maksudnya dia tersenyum hanya untuk beberpa detik denganku karena setelah itu sutradara Choi menyapanya. Sedangkan aku? Aku masih dengan setia menatap wajah tampannya. Sutradara Choi dan laki-laki itu berjalan sambil tersenyum dan terus membicarakan sesuatu yang aku tak mengerti dan tak tahu. Lalu seorang aktris drama itu, menyambut mereka dan memberikan laki-laki itu pelukan hangat. Bahkan seingatku, aktris itu tak pernah menyadari kehadiran laki-laki itu sebagai salah satu tim pembuat Soundtrack drama ini. Aku meneguk liur ku mengenyahkan perasaan tak enak yang membendung hatiku. Awalnya, aku fikir jenis perasaanku kepada laki-laki itu hanya sekedar rasa suka yang akan hilang seiring berjalannya waktu. Namun aku tak tahu aku bisa kecewa seperti ini melihat laki-laki itu berpelukan dengan wanita lain. Malam itu, diakhiri dengan perpisahan seluruh tim, namun saat kami berjabat tangan aku sama sekali tak melihat laki-laki itu disini, dan lahi-lagi aku kehilangan kesempatan ku untuk meminta sekedar nomor teleponnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/113343050-288-k953959.jpg)
YOU ARE READING
THE SUN AND MOON
FanfictionKita bagaikan musim panas dan musim dingin, selalu bertolak belakang. kita bagaikan matahari dan bulan, ya aku bulan karena aku yang akan selalu menunggu cahaya mu untuk bersinar. tapi bisakah untuk sejenak kita berjalan di jalan yang bersisian?