Prolog

168 7 0
                                    

Bosan. . . bosan. . . bosan.

                Yah, hanya itu yang kurasa sekarang. Seminggu ini, kelas 3 mengikuti ujian akhir sekolah dan itu artinya, seminggu ini adalah hari libur bagi kami, para kelas 1 dan 2. Jadi kerjaanku sehari-hari cuma melakukan hal-hal berulang yang menjemukan, yang sangat amat membosankan bagiku. Oh ya, perkenalkan, namaku Arlando Dwi Putra, kalian bisa memanggilku dengan nama Arlan. Aku menuntut ilmu di salah satu sekolah yang cukup punya nama di Surabaya. Aku merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Kakakku, bernama Vikri Firmansyah, sekarang kuliah di Universitas Boston di Amerika. Dia melanjutkan studi S1-nya di sana setelah mendapatkan beasiswa atas prestasinya. Yah, dia memang pintar, dia pernah menjuarai Olimpiade Kimia se-Asia-Pasifik tingkat SMA setelah sebelumnya hanya menjadi juara 2 di lomba yang sama, tapi pada tingkat SMP. Dia juga ahli robot, meski di level internasional belum bisa bicara banyak, tapi dia merupakan juara nasional sewaktu SMA. Masih banyak prestasi akademiknya yang kukira tak bakal ada habisnya kalau kuceritakan satu per satu.  Prestasi non akademiknya juga tak kalah memukau, dia merupakan atlet lari setingkat nasional. Selain dijejali piagam, medali, dan piala atas prestasi akademiknya,  lemari di kamarnya dipenuhi juga dengan piagam, medali, dan piala hasil larinya. Berbanding terbalik denganku, prestasiku tak seberapa alias nihil. Memang, dia jauh lebih pintar dariku. Tapi aku tak cemburu, karena orang tua kami tak pernah membeda-bedakan kasih sayang yang mereka berikan terhadap kami

                Semenjak kakakku ke Amerika, aku tinggal sendiri di Surabaya. “Kemana kedua orang tuaku?”. Hhaha.. Kedua orang tuaku sudah meninggal, setahun yang lalu. “Sebabnya?”. Itu adalah kejadian yang benar-benar tak ingin kubicarakan dengan siapapun, meski itu dengan kakakku sendiri. Peristiwa yang benar-benar membuatku kecewa juga sedih.

                Biaya sekolahku sekarang ditanggung oleh tanteku, tante jugalah yang menanggung kebutuhanku sehari-hari. Karena seluruh perusahaan kedua orang tuaku telah diserahkan kepadanya. Tanteku merupakan seorang janda, suaminya meninggal bersama kedua orang tuaku. Meskipun usianya sudah berkepala tiga, fisiknya masih bugar. Sekarang tante bagaikan ibu bagiku, dan kupanggil dia “Mama”.

                Tak terasa seminggu sudah berlalu, hari ini sudah saatnya aku masuk sekolah. Males sih, tapi senang juga akhirnya kebosananku segera berakhir. Dan juga, senang akhirnya bertemu kembali dengan gadis yang kupuja-puja, Fani Salwa Azizah. Dia teman sekelasku, biasa kupanggil dia Fani. Dia adalah gadis yang baik juga pintar dan unik bagiku.

                “Ar, jangan lupa sarapannya dimakan.” teriak mama.

                “Iya Mam, nanti aku pulang sekolah mau ngerjain tugas dulu. Jadi agak maleman pulangnya, ya.”

                “Iyaa, tapi jangan kemaleman loh ya. Makanmu nanti gimana?”

                “Gampang itu Mam, tinggal beli aja nanti.”

                Sarapan pecelku pun kulahap dengan cepat.

                “Aku berangkat dulu Mam, Assalamualaikum.” Bergegas aku menuju ke kuda besiku dan segera kukeluarkan dia dari kandangnya. Bukan ninja, CBR, ataupun motor sport lainnya, kuda besiku cuma sebatas motor bebek bernamakan Supra-X. Memang sih,sebenarnya aku memiliki motor sport, V-ixion, namun tak kupakai demi gadis yang kusuka yang tak menyukai motor sport. Jarak rumah-sekolahku kira-kira 15 km, dengan keadaan jam yang sudah mepet ini, jadi akan kupacu motorku dengan kecepatan kira-kira 80 km/jam, dengan adanya tiga penghalang di lalu lintas yang bernama lampu merah, aku pasti akan sampai di sekolah kurang dari 15 menit.

                Aku sampai di sekolah tepat waktu, tepat sang pusaka bel berdentang. Segera kupakirkan motor bebekku ini di parkiran sekolah. Kulihat temanku Mawar sedang kebingungan memakirkan motornya, segera saja sifatku yang ingin menolong siapapun bereaksi untuk menghampiri.

                “Sini kubantu.” Tawarku padanya

                “Hah?”

                Belum sempat ia berkata lagi, kuambil alih motornya. Dan tak butuh waktu lama, motornya sudah kuparkirkan dengan rapi. Entah apa yang membuatnya kebingungan, padahal masih banyak tempat kosong.

                “Oh makasih, Ar. Aku cuman bisa naiknya aja, gabisa buat markirnya. Hehe..”

                Kutinggalkan dia dengan senyuman kecil, aku tak sabar untuk berjumpa dengan pujaanku.

                Aku sampai di kelasku tercinta. Kulihat bangku meja guru masih kosong, kupandangi seluruh isi kelas untuk mencari Fani, gadis yang merupakan alasan aku bersemangat untuk masuk sekolah. Gadis pemilik senyuman  manis yang bahkan mampu memaniskan pare1, juga suara yang yang menenangkan jiwa meski kala hujan badai menghadang serta petir turun. Namun dia tak terlihat. Semangat belajarku menjadi sedikit memudar. Meski ragaku di sini, tapi pikiranku jauh melayang ke angkasa membayangkannya. Kubayangkan paras cantiknya berpadu dengan senyum manisnya, uuh. Tak kurasa lamunanku terlalu menyeretku jauh, hingga tak kusadari guruku sudah datang.

                “Teng. .teng. .” bel tanda 1 jam pelajaran berdentang. Aku merasa sangat hambar. Bak arang tanpa bara. Tak kusangka batang hidungnya yang manis juga belum kunjung muncul. Sakitkah dia?

                “Tok. .tok. .tok, Assalamualaikum.” terdengar suara yang bak mengandung morphin yang menenangkan jiwaku.

                “Waalaikumsalam”, jawab seisi kelas

                Dengan tampang polosnya dia menyelonong masuk ke dalam kelas, meminta ijin guru untuk duduk mengikuti pelajaran. Kekecewaanku pun sirna, hasrat akan hidup pun kembali membara. Arang hitam mulai memperlihatkan warna merahnya. Si gadis pujaan, telah datang kembali.

.   .   .   .   .   .

                Rasa sukaku pada Fani sudah muncul sejak aku pertama kali sekelas dengannya. Dalam beberapa kesempatan sudah kucoba untuk mendekatinya. Namun mendekatinya tak semudah meminum air dari botol air mineral yang kubeli dari kantin seharga 2000 rupiah. Mungkin sesulit membeli permen seharga 100 rupiah ketika uang dimusnahkan dari dunia ini.

                Pernah sekali, ketika aku sekelompok dengannya dalam tugas praktikum mengenai kandungan zat makanan. Aku berusaha untuk dekat dengannya. Tapi percuma saja, dia tak memberi respon balik. Dia hanya biasa saja. Malah teman sekelompokku yang lain yang suka padaku. Namanya Riana, orangnya baik, parasnya lucu dan imut. Namun sikapnya yang kekanakan-kanakan membuatku untuk berpikir ulang apabila menjadikannya sebagai kekasih. Perasaanku terhadap Fani mengalahkan apapun. Entah apa yang membuatku benar-benar suka padanya. Apapun itu, selama masih ada sangkut pautnya dengan dia, aku selalu menyukainya. Baik itu benar adanya ataupun salah.

                Setelah itu ada Lena. Dia merupakan gadis yang dekat denganku setelah Riana, dia belajar di kelas yang bersebelahan dengan kelasku. Meski dia cantik, manis, juga baik hati, namun hatiku lebih nyaman ketika bersama Fani. Yah, mungkin kecantikan Fani memang kalah dibandingkan Riana ataupun Lena, namun Fani memiliki “sesuatu” yang membuat perasaanku ini selalu tertuju kepadanya. Entah apa itu, aku sendiri tak tahu. Sesuatu yang mengutkan perasaanku kepadanya sekuat roda kereta api yang tahan bocor.

i don't have loveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang