Part 1

33 4 0
                                    

Kedekatanku dengan Riana dimulai ketika aku membantunya menyelesaikan tugas. Bukan bermaksud sok baik kepada wanita, namun sudah sifat lahirku ketika ada seseorang yang memerlukan bantuan, apalagi bila ia meminta bantuanku, aku pasti akan berusaha menolongnya. Sifatku inilah yang membuatku sering membantu Riana. Sesering si woodpecker mengetukkan paruhnya.

                “Ar, bisa jelasin buffer gak? Besok ada uh 2 kimia lo.” pinta Riana sembari menyodorkan catatan kimanya kepadaku

                “Yang mana? Ini to?” kutunjuk rumus yang memang memusingkan kepala ini.

                “Iya, yang buffer asam. Jelasin ya. Aku masih belum paham.”

                “Ealah, ini nuh gini, . . . .” kuterangkan panjang lebar kepadanya

                Seiring waktu berjalan, kedekatanku dengannya semakin menjadi-jadi. Dia yang baik dan lucu membuatku mulai tertarik kepadanya. Kedekatanku tak hanya sebatas saat sedang mengerjakan tugas. Setiap kali aku akan pergi ke kantin, selalu aku menanyakan mau nitip apa dia. Keadaan ini membuat teman-teman sekelasku mengira kalau aku dan Riana ada apa-apanya. Namun ketika ditanya soal antara aku suka atau tidak, aku selalu berkata tidak. Pernah suatu saat,

“Ar, kamu suka sama Riana ya?” tanya Chika, temanku, tersenyum penuh arti.

                “Enggak. “ jawabku polos.

Hanya kata tidak, enggak, atau kata-kata yang menandakan “tidak”lah yang selalu menjadi pilihan jawabku. Namun tak  bisa kusangkal, bahwa aku sebenarnya suka padanya. Kedekatanku dengannya membuatku mengerti sedikit banyak tentangnya. Dia adalah anak tunggal di keluarganya, dia sering dimanja oleh orang tuanya. Wajar juga apabila dia memiliki sifat kekanak-kanakan. Selain itu dia juga merupakan keturunan bangsawan, tapi mengenai keturunan dari bangsawan mana, aku tak tahu-menahu soal itu. Satu hal penting lainnya yang kutahu, Riana sekarang mulai ditaksir oleh Bagas, dia adalah anak dari kelas yang berbeda denganku. Seseorang yang kunilai segala sesuatunya lebih baik dariku. Hal ini membuat perasaanku tak menentu. Aku yang mulai ingin mengetahui lebih banyak hal tentangnya menjadi kurang nyaman dengan adanya Bagas. Walau semenjak awal aku memang kurang nyaman dengannya. Jauh di dalam hatiku terjadi pergulatan antara memilihnya atau tidak. Mungkin pergulatan di hatiku tak sekeji di smackdown RAW maupun WWE, tapi ini benar-benar membuatku terasa membanting tulang. Galau. Pikiranku bekerja keras. Perasaanku terhadap Fani yang masih ada menambah kebimbanganku untuk mengambil keputusan. Namun setelah menimbang-nimbang dengan berat, kuputuskan untuk mengatakan yang sesungguhnya. Esok, aku akan berkata jujur kepadanya.

”Ria, aku mau bilang sesuatu ke kamu.”

                “Apa, Ar?”

                “Sebenarnya, aku suka sama kamu.”

                “Terus?” jawabnya dengan polos “Aku harus ngapain?”

                “Kamu gak perlu ngapa-ngapain. Karena niatanku cuman mau bilang aja, aku gaberharap balesan dari kamu.”

Hal tersebut cepat berlalu. Setelah apa yang kukatakan kepadanya, kedekatanku dengan Riani masih terjalin dengan cukup baik. Meski saat itu dia hanya menanggapi dengan polos apa adanya, tapi ternyata dia memiliki rasa yang sama denganku. Meski begitu, aku mulai meninggalkan perasaanku terhadapnya.  Aku malah mendukung Riani untuk segera jadian dengan Bagas. Aku turut membantunya  agar bisa jadian dengan Bagas. Dan hingga akhirnya, mereka berdua resmi jadian. Aku turut senang mengetahuinya.

.  .  .  .  .  .

i don't have loveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang